Apakah seorang sufi yang melaksanakan shalat, puasa, zakat, dan sebagainya, tetapi ia mengkultuskan Husein, Siti Zainab, dan orang-orang yang ada di dalam kubur boleh menjadi wali dalam akad nikah? Jika ia tidak boleh menjadi wali, dan akadnya sudah terjadi, apa yang harus dilakukan terhadap akad tersebut? Apakah kami harus melakukan akad baru dengan wali yang lain, atau bagaimana?
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Dalam sebuah hadits shahîh, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tidak ada (tidak sah) pernikahan tanpa wali." [HR. Imam yang lima kecuali An-Nasâ'i. Menurut Ahmad dan Ibnu Ma`în: shahîh]
Seorang yang menjadi wali harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya: laki-laki, berakal, baligh, merdeka, dan menganut Agama yang sama dengan orang yang di bawah perwaliannya. Seorang kafir tidak boleh menjadi wali bagi seorang wanita muslimah. Sebagaimana seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang wanita kafir. Karena kedua belah pihak tidak saling mewarisi. Di samping itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Orang-orang beriman laki-laki dan orang-orang beriman perempuan sebagian mereka menjadi wali atas sebagian yang lain." [QS. Al-Anfâl: 73]
Selama wali yang bersangkutan adalah seorang muslim, maka perwaliannya sah. Adapun sosok wali yang ditanyakan, jika ia hanya sekedar meyakini bahwa Husein dan yang lainnya adalah wali Allah dan merupakan orang-orang shalih, namun tidak menyembah mereka dengan doa atau shalat dan sebagainya, maka perwaliannya tetap sah. Tapi jika ia meyakini bahwa Husein dan yang orang-orang yang sudah mati tersebut bisa mendatangkan manfaat dan mudharat, di samping Allah, atau mempersembahkan ibadah untuk mereka seperti berdoa dan sebagainya, maka orang seperti ini dilihat kondisinya. Jika ia tidak mengetahui bahwa ini adalah perbuatan syirik, batil, dan tidak boleh, maka ia dimaafkan karena ketidaktahuannya, seperti disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan Kami tidak akan menyiksa sampai kami mengutus seorang rasul." [QS. Al-Isrâ': 15]. Namun jika ia mengetahui hal itu dan melakukannya bukan karena ketidaktahuan, atau telah dipaparkan hujjah kepadanya, maka ia bukanlah seorang muslim. Hukum perwaliannya didasarkan kepada fakta ini.
Kesimpulannya, jika si wali hanya meyakini tentang mereka itu sekedar keshalihan dan kemuliaan, tanpa menyifati mereka dengan sifat-sifat yang menjadi keistimewaan Allah, atau ia beribadah kepada mereka tanpa mengetahui hukumnya pada saat melangsungkan akad, maka nikahnya sah dan tidak perlu diulang dengan akad yang baru. Namun jika ia mengetahui ketidakbolehannya, maka akadnya tidak sah, dan harus dilakukan akad baru dengan wali yang sah menurut Syariat, jika suami-istri itu ingin melanjutkan hubungan pernikahan. Namun, walau bagaimana pun, anak-anak yang lahir dari si wanita selama ini adalah anak-anak yang sah bagi suaminya. Seluruh ulama menyepakati hal ini—Alhamdulillâh.
Wallâhu a`lam.
Anda dapat mencari fatwa melalui banyak pilihan