Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Penyakit Hati

Berlebihan dalam Makan

Berlebihan dalam Makan

Oleh: Syaikh Ahmad Farid

Ketahuilah, bahwa salah satu penyebab binasanya anak Adam adalah syahwat yang datang dari lambung atau perutnya. Karena syahwat inilah Adam dan Hawa dikeluarkan dari Surga dan diturunkan ke dunia yang penuh dengan kehinaan ini. ketika mereka berdua dilarang untuk mendekati pohon Khuldi, namun kemudian kekuatan syahwat mengalahkan mereka sehingga memakan buah pohon terlarang itu, terbukalah semua pakaian dan perhiasan mereka.

Perut sebenarnya adalah pusat tumbuhnya syahwat, serta sumber penyakit dan kerusakan, karena ia biasanya akan diikuti dengan syahwat kemaluan, kemudian disusul dengan obsesi pada kedudukan dan harta sebagai sarana utama pemenuhan syahwat perut, kemudian diikuti pula dengan berbagai kesembronoan, persaingan tidak sehat, dan saling dengki. Semua itu adalah akibat dari ketidakdisiplinan dalam urusan perut dan kebiasaan memperkenyang diri secara berlebihan. Kalaulah seandainya seorang hamba menahan rasa lapar dan mempersempit jalan Syetan di tubuhnya, pasti ia mampu menundukkan dirinya untuk selalu taat kepada Allah, dan niscaya ia tidak akan menjatuhkan diri ke dalam jalan kesombongan dan melampaui batas.

Sebuah hadits diriwayatkan dari Miqdam ibnu Ma'dikarib—Semoga Allah meridhainya, bahwa ia mendengar Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tidak ada wadah yang lebih buruk untuk diisi oleh anak Adam melebihi perutnya. Cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar untuk menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), jika tidak bisa demikian, maka hendaklah ia mengisi sepertiga lambungnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk bernafas".[HR. At-Tirmidzi. Menurutnya: hasan shahîh]

Hadits ini merupakan dasar yang menghimpun segala pokok ilmu kesehatan. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Masawaih, seorang dokter, ketika membaca hadits ini dalam buku Abu Khaitsamah, ia berkata, "Kalaulah seandainya manusia mengamalkan hadits ini, niscaya mereka akan selamat dari segala bentuk penyakit, klinik-klinik dan toko-toko apotik akan tutup." Ia berkata demikian tidak lain adalah karena akar dari segala penyakit adalah kekenyangan berlebihan.

Inilah manfaat mengurangi makanan dalam menjaga kesehatan badan. Adapun manfaatnya bagi hati, membatasi makanan akan melembutkan hati, menguatkan pemahaman, serta melemahkan nafsu dan amarah. Sedangkan makan yang berlebihan akan mendatangkan sebaliknya. Itulah mengapa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memerintahkan kepada kita untuk membatasi konsumsi makanan dalam di atas, "Cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar untuk menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga)."

Dalam sebuah hadits shahîh, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Orang mukmin itu makan dengan satu usus, sedangkan orang kafir makan dengan tujuh usus." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]. Maksudnya, orang beriman itu makan dengan menjaga adab-adab syar`i, hanya dengan satu usus, sedangkan orang kafir makan dengan penuh nafsu dan kerakusan, sehingga makan dengan tujuh usus. Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam, di samping menganjurkan untuk mengurangi volume makanan, juga mengajarkan kita agar rela memberikan sebagian makanan untuk orang lain. Beliau bersabda, "Makanan satu orang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk tiga orang, makanan tiga orang cukup untuk empat orang."

Maka yang terbaik bagi seorang mukmin adalah mengisi sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk air, dan sepertiga lagi untuk bernafas, sebagaimana sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallamdi atas.

Seorang ulama salaf berkata, "Dahulu, ada sekelompok pemuda Bani Israil yang tekun beribadah, ketika mereka hendak makan, seseorang berdiri mengingatkan, 'Janganlah kalian makan berlebih-lebihan, karena niscaya kalian akan minum berlebih-lebihan, dan kemudian kalian akan mendapatkan banyak kerugian'."

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan para shahabat beliau sangat sering menanggung rasa lapar. Meskipun itu terjadi karena minimnya makanan yang mereka miliki, tetapi Allah pasti hanya memilihkan kondisi terbaik untuk Rasul-Nya. Oleh karena itu, Ibnu Umar selalu berusaha meniru Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam hal tersebut, meskipun ia tergolong orang yang mampu, demikian juga ayahnya, Umar—Semoga Allah meridhainya.

Sebuah hadits diriwayatkan dari `Aisyah Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Keluarga Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak pernah merasakan kenyang karena memakan roti gandum selama tiga hari berturut-turut, semenjak menginjakkan kaki di madinah sampai beliau wafat."

Ibrahim ibnu Adham pernah berkata, "Barang siapa yang mampu disiplin dalam hal perut, niscaya ia akan mampu disiplin dalam hal agama. Barang siapa yang sanggup menahan lapar niscaya akan memiliki akhlak yang mulia, karena sesungguhnya maksiat itu jauh dari orang yang lapar, dan sangat dekat dengan orang yang kenyang. Di antara manfaat terbesar rasa lapar adalah melemahkan dorongan syahwat maksiat dan membelenggu nafsu yang cenderung kepada kejahatan. Karena sesungguhnya sumber dari segala bentuk kemaksiatan adalah syahwat dan kekuatan (tenaga). Bahan dasar syahwat dan tenaga adalah makanan. Maka membatasinya akan melemahkan syahwat dan tenaga itu. Kebahagian hanya milik orang yang mampu menguasai nafsunya, dan kesengsaraan meliputi orang yang dikuasai oleh nafsunya. Sebagaimana Anda tidak akan mampu menguasai kumpulan hewan kecuali dengan membuatnya lapar, dan kenyang membuatnya kuat dan berkeliaran kemana-mana, demikian juga halnya denga nafsu."

Diriwayat bahwa Luqmanul Hakim pernah berkata kepada anaknya, "Apabila perut penuh, akal akan tidur, hikmah (ilmu dan sikap baik) akan hilang, dan anggota badan menjadi malas beribadah."

Manfaat lain dari menahan lapar adalah meruntuhkan segala bentuk kesombongan yang merupakan awal dari perilaku durhaka dan lalai dari mengingat Allah. Tidak ada upaya yang lebih efektif untuk melemahkan berbagai kehendak nafsu melebihi rasa lapar. Ketika itu dapat dilakukan, jiwa akan tenteram, khusyuk menghadapkan diri kepada Allah, dan merasa lemah tidak berdaya di hadapan-Nya. Ia merasa betapa ia takluk hanya karena ketiadaan sedikit makanan. Ia sadar betapa dunia menjadi gelap hanya karena seteguk air yang terlambat ia dapatkan.

Selama manusia tidak melihat kehinaan dan kelemahan dirinya, ia tidak akan bisa melihat kekuatan dan keperkasaan Allah. Karena pada hakikatnya, kebahagian manusia ada ketika ia memandang rendah dirinya seraya mengakui kekuatan dan keperkasaan Allah. Rasa lapar akan membuatnya senantiasa merasa tergantung dan butuh kepada Tuhannya.

Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk membiarkan jiwa terjerumus ke dalam nafsu syahwat yang mubah, dan senantiasa memperturutkan kehendaknya dalam semua situasi. Semakin rajin seorang hamba memenuhi permintaan syahwatnya, semakin dikhawatirkan ia akan diseru pada hari Kiamat nanti: "Kalian telah menghabiskan jatah kalian dalam kehidupan dunia kalian, dan kalian telah bersenang-senang (menikmati)-nya." Dan semakin mampu ia berusaha keras melawan nafsu, semakin besar kemungkinan ia akan menikmati Akhiratnya.

 

 

Artikel Terkait