Sungguh, di antara penyakit paling kronis yang menimpa manusia di atas dunia ini adalah penyakit dungu. Dungu, seluruhnya adalah keburukan. Orang dungu adalah musuh bagi dirinya sendiri, karena penyakit ini menyebabkan kerugian besar bagi dirinya. Orang yang dungu adalah orang yang memiliki akal dan ide yang lemah, tidak cakap melakukan apa pun.
Kedunguan dengan Beragam Jenisnya
Bentuk kedunguan yang menunjukkan kelemahan, kebingungan, dan kesembronoan akal sangat banyak. Anda dapat menemukannya dalam skala individu dan masyarakat, rakyat dan pemerintah, laki-laki dan perempuan. Lihatlah orang yang menantang Tuhannya berperang, ingkar kepada Allah, berbuat zalim, menghancurkan segala yang ada, terlena oleh kekuatan dan pemberian Allah kepadanya, ia adalah seorang yang dungu. Lihatlah juga orang yang berjalan menerobos pintu kehancuran. Ia menyaksikan besarnya kekuasaan Allah pada makhluk-Nya, tahu akan besarnya balasan Allah kepada mereka, dan ia pun menyaksikan keindahan aturan Allah di alam semesta dan Syariat-Nya, namun ia tetap berjalan dalam kesesatannya, tidak menghormati ayat-ayat Allah yang sangat terang itu, tidak segera bertobat dan melakukan amal kebaikan yang menghapus dosa. Orang seperti ini tidak kalah dungunya dengan yang sebelumnya.
Lihatlah orang yang menikahkan putrinya dengan laki-laki yang tidak shalat, atau orang kafir, atau pelaku maksiat, hanya lantaran laki-laki itu adalah seorang yang kaya atau memiliki kedudukan terpandang. Ia melakukan itu dengan alasan karena mencintai putrinya, padahal sebenarnya pernikahan itu justru akan menghancurkan putrinya. Seorang ayah yang menikahkan anak perempuannya dengan seorang laki-laki pendosa, sejatinya telah memutuskan tali silaturahimnya dengan anaknya itu. Barang siapa yang menyia-nyiakan shalat, niscaya terhadap selain shalat juga akan lebih tidak peduli.
Demikian juga dengan seorang ayah yang memberikan kebebasan tanpa batas kepada istri dan anaknya. Ia sediakan untuk mereka fasilitas rumah yang merusak, ia biarkan mereka menonton film-film porno dan mendengarkan musik-musik tidak senonoh, dengan alasan menghibur dan membuat mereka senang. Ayah seperti ini adalah manusia yang telah menyia-nyiakan dirinya dan orang yang dipimpinnya. Cukuplah mendosa dosa bagi seseorang ketika ia menyia-nyiakan keluarganya. Sesungguhnya tidak akan bergeser kaki anak Adam di hadapan Allah, hingga setiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang ia pimpin, apakah ia menjaga ataukah menyia-nyiakan mereka. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." [QS. At-Tahrîm: 6]
Orang Dungu tidak Dapat Memanfaatkan Anggota Badannya
Orang tolol tidak dapat mengambil manfaat dari anggota badan dan panca indra yang dititipkan kepadanya. Inilah kondisi orang-orang kafir dan munafik yang disebutkan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ—dalam firman-Nya (yang artinya):
o "Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, Padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri, sedang mereka tidak sadar." [QS. Al-Baqarah: 9];
o "Dan bila dikatakan kepada mereka: 'Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi', mereka menjawab: 'Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan'." [QS. Al-Baqarah: 11]
o "Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka, dan tidaklah mereka mendapat petunjuk." [QS. Al-Baqarah: 16]
o "Mereka tuli, bisu dan buta. Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)." [QS. Al-Baqarah: 18]
o "Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahanam itu kebanyakan dari Jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." [QS. Al-A`râf: 179]
o "Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah engkau dapat menjadi pemelihara atasnya?" [QS. Al-Furqân: 43]
Hadits-hadits yang Mencela Kedunguan
Terdapat beberapa hadits yang mencela kedunguan ini, di antaranya:
o Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Aku dilarang (mengeluarkan) dua macam suara dungu dan dosa: (yaitu) teriakan ketika musibah, mencakar-cakar muka, merobek-robek kantong pakaian, dan suara nyanyian Syetan." [HR. At-Tirmidzi. Menurutnya: shahîh]
o Dalam hadits yang diriwayatkan dari Al-Aswad ibnu Sarî'—Semoga Allah meridhainya, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Ada empat macam manusia pada hari Kiamat: (Pertama), seorang tuli yang tidak mendengar apa pun. (Kedua), seorang yang dungu. (Ketiga), seorang laki-laki tua. Dan (keempat), seorang yang mati pada masa fatrah (sebelum diutusnya rasul). Adapun orang yang tuli, ia berkata, 'Islam telah datang namun aku tidak mendengarkan apapun'. Orang yang dungu berkata, 'Wahai Tuhanku, Islam telah datang sementara anak-anak kecil melemparku dengan kotoran'. Orang yang tua berkata, 'Wahai Tuhanku, Islam telah datang sementara aku tidak memahami apa pun'. Sementara orang yang mati di masa fatrah berkata, 'Tidak ada rasul Engkau yang datang kepadaku'. Lalu diambillah janji mereka untuk mentaati rasul. Lalu rasul pun diutus kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk masuk Neraka. Demi jiwaku yang berada di tanan-Nya, kalaulah mereka memasukinya, niscaya mereka akan mendapatkannya dingin dan memberi keselamatan kepada mereka." [HR. Ahmad, Al-Baihaqi, dan Ibnu Hibbân]
o Dalam Hadits Ummu Zar` disebutkan: "Istri yang kedua berkata, 'Suamiku tidak akan bisa aku sebutkan tentangnya. Aku takut kalau (membicarakannya) tidak ada yang aku sisakan, karena jika aku menyebut sesuatu tentangnya pasti yang ada hanya aib dan cela'. Istri yang ketiga berkata, 'Suamiku sangat buruk perilakunya, kalau aku berbicara aku akan diceraikannya dan kalau aku diam aku digantungnya'." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Riwayat dan Perkataan Para Ulama
o Ketika Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—membaca ayat berikut (yang artinya): "Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kalian (berbuat durhaka) terhadap Tuhan kalian yang Maha Pemurah?" [QS. Al-Infithâr: 6], ia berkata, "Kedunguan, wahai Tuhanku."
o Ali ibnu Abi Thâlib—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Tidak seorang pun manusia melainkan dalam dirinya terdapat suatu kedunguan yang ia bawa dalam hidup."
o Mujâhid berkata, "Suatu ketika, aku bersama dengan Ibnu `Abbâs—Semoga Allah meridhainya. Lalu datanglah seorang laki-laki mengadu bahwa ia telah mentalak tiga istrinya. Ibnu `Abbâs pun diam hingga aku mengira bahwa ia akan mengembalikan si istri kepada laki-laki itu. Namun kemudian ia berkata, 'Ada orang yang mengendarai kedunguan lalu berteriak (bertanya), hai Ibnu `Abbâs, hai Ibnu `Abbâs! Padahal Allah telah berfirman (yang artinya): 'Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya.' [QS. Ath-Thalâq: 2]. Sementara engkau tidak bertakwa kepada Allah (karena mentalak istri dengan cara tidak sesuai dengan ajaran Al-Quran), sehingga aku tidak menemukan jalan keluar bagimu. Engkau telah melanggar perintah Tuhanmu, maka istrimu berarti telah terpisah (tertalak tiga) darimu." [HR. Abû Dâwûd, menurut Al-Albâni: shahîh]
o Diriwayatkan dari Anas ibnu Sîrîn bahwa ia mendengar Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Ibnu Umar mentalak istrinya dalam keadaan haid. Lalu Umar menceritakan hal itu kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Beliau pun bersabda, 'Suruh ia untuk merujuk istrinya kembali!' (Anas ibnu Sîrîn) bertanya kepada (Ibnu `Umar), "Apakah talak itu terhitung?" Ibnu Umar menjawab, "Apa lagi (kalau bukan terhitung)!" Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, "Perintahkan ia (Ibnu Umar) agar merujuk kembali istrinya!" Lalu Ibnu Sîrîn bertanya, "Apakah talak itu terhitung?" Ibnu Umar menjawab, "Apakah ia lemah akal atau melakukan kedunguan (sehingga menyebabkan talaknya tidak terhitung?)." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
o Diriwayatkan dari Muhammad ibnu Al-Munkadir, ia berkata, "Jâbir (ibnu Abdullah Al-Anshâri) suatu ketika shalat dengan satu kain yang ia ikat di punggungnya, sementara bajunya ia gantung di atas gantungan baju. Lalu seseorang bertanya (seolah mengingkari perbuatannya), 'Apa engkau akan shalat dengan satu kain?!' Jâbir menjawab, 'Aku melakukan hal ini supaya dilihat oleh orang dungu sepertimu. Siapakah di antara kami yang memiliki dua pakaian di zaman Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam!?" [HR. Al-Bukhâri]
o Ja`far Ash-Shâdiq berkata, "Sopan santun kepada seorang yang tolol adalah seperti air pada akar pohon Hanzhal (sejenis pohon yang buahnya pahit). Semakin diairi, semakin pahit (buahnya)."
o Ibnu Abi Ziyâd berkata, "Ayahku pernah berpesan kepadaku, 'Anakku, bergaul dan bertemanlah dengan orang-orang yang berakal (cerdas dan bijak), dan jauhilah orang-orang dungu. Karena tidak pernah sekali pun aku bergaul dengan orang dungu lalu aku pergi tanpa mendapatkan cela pada akalku."
o Diriwayatkan dari Mutharrif ibnu Abdullah ibnu Asy-Syikhkhîr, ia berkata, "Kalau aku (harus) bersumpah dengan mengatakan ini, aku berharap tidak keliru, bahwa tidak ada seorang pun manusia melainkan ada kedunguan pada dirinya dalam bersikap kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ. Hanya saja sebagian orang lebih ringan kedunguannya dari yang lain."
o Ibrâhîm An-Nazhzhâm pernah ditanya, "Apakah batasan ketololan itu?" Ia menjawab, "Engkau menanyakan kepadaku sesuatu yang tidak punya batasan."
o Diriwayatkan dari Ibrahim Al-Maushili, ia berkata, "Suatu ketika, Al-Hajjâj bersedih karena sebuah musibah yang menimpa sahabat, sementara seorang utusan (Khalifah) Abdul Malik dari Syâm berada di dekatnya. Al-Hajjâj berkata, 'Andai saja ada seseorang yang menghiburku dengan bait-bait syair'. Lalu utusan dari Syâm itu berkata, 'Bolehkah aku melantunkannya?' Al-Hajjâj berkata, 'Lantunkanlah!' Kemudian orang itu bersyair, 'Setiap sahabat pasti akan berpisah dengan sahabatnya. Baik karena meninggal dunia, maupun karena tertimpa musibah, atau jatuh dari rumahnya, atau tertimpa oleh rumahnya, atau jatuh ke sumur, atau hal-hal lain yang tidak kita ketahui'. Al-Hajjâj lalu berkata, 'Engkau telah menghiburku dengan musibah yang lebih besar, karena Amîrul Mukminîn (Abdul Malik) mengutus seorang utusan sepertimu!'."
o Seorang ahli hikmah melihat seorang dungu yang sedang duduk di atas batu, lalu ia berkata, "Batu di atas batu."
o Seorang ahli hikmah mengatakan, "Orang berakal yang miskin lebih baik daripada orang dungu yang kaya."
o Sebuah ungkapan mengatakan: "Si fulan memiliki kedunguan yang melimpah ruah dan akal yang tolol; ia tidak memiliki akal sedikit pun selain hanya yang membuatnya wajib menjalankan perintah Allah."
o Suatu ketika, seorang gubernur berjalan melewati seorang pedagang es. Gubernur itu lalu berkata, "Perlihatkan kepadaku apa yang engkau miliki!" Pedagang es itu kemudian memecah sepotong es dan memberikannya kepada Gubernur. Gubernur itu berkata, "Aku ingin yang lebih dingin dari ini." Pedagang itu pun memotong kembali untuknya es (yang sama) dari ujung yang lain. Sang Gubernur bertanya, "Yang ini berapa harganya?" Pedagang itu menjawab, "Satu liter harganya satu dirham, sedangkan es (dari ujung) yang pertama tadi, satu liter setengah harganya satu dirham". Gubernur itu pun berkata, "Kalau begitu, timbangkan untukku dari ujung yang kedua."
o Ahli hikmah yang lain berkata, "Kebutuhan orang berakal ada pada dirinya, sementara kebutuhan orang dungu ada pada orang lain. Barang siapa yang tidak punya akal maka tidak ada dunia baginya, tidak juga Akhirat."
Dungu; Penyakit yang Sulit Sembuh
Diriwayatkan dari Abu Ishâq, ia berkata, "Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang yang kaya membutuhkan harta maka percayailah hal itu. Apabila sampai kepadamu berita bahwa ada orang miskin yang tidak butuh harta maka percayailah. Apabila sampai kepadamu berita bahwa seorang yang hidup meninggal dunia maka percayailah. Tetapi jika sampai kepadamu berita bahwa seorang dungu mendapatkan akal maka janganlah engkau percaya."
Diriwayatkan dari Al-Auzâ`i bahwa ia berkata, "Aku mendengar kabar bahwa Isa ibnu Maryam—`Alaihimas salâm—pernah ditanya oleh seseorang, 'Wahai Nabi Allah, benarkah engkau dapat menghidupkan orang mati? Beliau menjawab, 'Benar, dengan izin Allah'. Orang itu bertanya lagi, 'Benarkah engkau dapat mengobati orang yang buta sejak lahir?' Beliau menjawab, 'Benar, dengan izin Allah', Lalu orang itu kembali bertanya, 'Apa obat kedunguan?' Beliau menjawab, 'Ini yang tidak aku ketahui."
Tanda-tanda dan Akhlak Orang Dungu
Abu Hâtim ibnul Hayyân Al-Hâfiz pernah berkata, "Tanda-tanda kedunguan adalah terburu-buru menjawab, tidak teliti, tertawa berlebihan, banyak menoleh, menghina orang-orang baik, berbaur dengan orang-orang yang tidak baik. Orang dungu, jika engkau berpaling darinya ia akan bermuka masam, dan jika engkau mau bergaul dengannya ia akan terpedaya. Jika engkau sabar menghadapinya ia akan jahat kepadamu, jika engkau berbuat baik kepadanya ia akan berbuat buruk kepadamu, dan ia akan menzalimimu jika engkau berlaku adil terhadapnya."
Seorang ahli hikmah berkata, "Di antara akhlak orang dungu adalah: Jika merasa kaya ia sombong, jika merasa miskin ia putus asa, jika merasa senang ia berbuat jahat, kalau berbicara kata-katanya kotor, kalau diminta ia pelit, kalau meminta ia bersikeras, kalau berbicara ia tidak bisa berbicara dengan baik, kalau orang berbicara kepadanya ia tidak mengerti, kalau tertawa suaranya seperti suara keledai (sepenuh kerongkongan), dan kalau menangis suaranya seperti suara sapi."
Umar ibnu Abdul Aziz berkata, "Apapun yang tidak engkau temukan pada seorang yang dungu, engkau tidak akan pernah kehilangan dua sifat dari dirinya: terburu-buru menjawab dan banyak menoleh."
Diriwayatkan dari Al-Ahnaf ibnu Qais bahwa ia berkata, Al-Khalîl ibnu Ahmad pernah berkata, "Manusia itu ada empat model: (Pertama), orang yang tahu dan sadar bahwa dirinya tahu, orang seperti ini adalah ulama, maka ambillah darinya. (Kedua), orang yang tidak tahu bahwa dirinya tahu, yang seperti ini adalah orang lupa, maka ingatkanlah ia. (Ketiga), orang yang tidak tahu tetapi ia sadar bahwa dirinya tidak tahu, yang seperti ini adalah penuntut ilmu, maka ajarilah ia. (Keempat), orang yang tidak tahu dan ia tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu, yang seperti ini adalah orang dungu, maka jauhilah ia."
Ya Allah, hiaslah diri kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami para pemberi petunjuk yang mendapat petunjuk. Âmîn