Islam Web

Haji & Umrah

  1. Haji & Umrah
  2. Ringkasan Ajaran Islam

Menuruti Hawa Nafsu Menjauhkan Diri dari Kebenaran

Menuruti Hawa Nafsu Menjauhkan Diri dari Kebenaran

Bismillâhirrahmânirrahîm. Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Pengertian Hawa Nafsu

Hawa adalah kecenderungan diri atau rasa suka seseorang terhadap sesuatu. Kebanyakan kata hawa memiliki konotasi yang negatif (tercela). Hal itu sebagaimana tersirat dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawanya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal-(nya)." [QS. An-Nâzi`ât: 40-41]

Ada juga yang mengatakan, ia dinamakan dengan hawa yang arti aslinya jatuh, karena ia menjatuhkan (mencelakakan) pelakunya. Jadi, hawa adalah kecenderungan diri seseorang terhadap sesuatu yang sesuai untuk dirinya, sebagaimana pendapat Ibnul Jauzi dan Ibnul Qayyim. Bisa juga dikatakan bahwa hawa adalah kecenderungan nafsu kepada syahwat.

Hukum Menuruti Hawa Nafsu

Unsur kecenderungan diciptakan dalam diri manusia demi kepentingan menjaga kelestariaan hidupnya. Jika bukan karena adanya kecenderungannya kepada makanan, minuman, dan lawan jenis, niscaya ia tidak akan makan, tidak akan minum, dan tidak akan menikah. Hawa nafsu mendorongnya mencari sesuatu yang ia inginkan, sebagaimana amarah menjaganya dari sesuatu yang membuatnya tersakiti. Karena itu, hawa nafsu tidak boleh dicela secara mutlak, dan tidak layak pula disanjung secara mutlak, seperti halnya juga sifat marah. Yang dicela dalam kedua hal ini hanyalah sikap berlebihan, yaitu melebihi kadar yang wajar untuk mendatangkan manfaat dan mencegah mudarat (bahaya).

Namun, karena mayoritas orang yang menuruti hawa nafsu, syahwat, dan amarahnya tidak berhenti pada batas yang semestinya, maka hawa nafsu, syahwat, dan amarah itu dicela dalam Syariat secara umum. Karena sangat sedikit orang mengikuti hawa nafsunya dengan maksud berhenti pada batas yang ditetapkan. Karena itu, ketika berbicara mengenai hawa nafsu, Allah selalu mencelanya. Begitu juga yang kita lihat di dalam hadits Nabi, kata-kata ini (hawa, nafsu, syahwat, dan sejenisnya) selalu disebutkan sebagai sesuatu yang tercela, kecuali jika dikaitkan dengan kata lain yang mengeluarkannya dari ketercelaan itu. Misalnya, dengan mengatakan "hawa yang baik", atau "hawa yang sesuai dengan kebenaran". Sebuah ungkapan mengatakan, "Hawa (nafsu) tidak bisa dipercaya."

Pengikut Hawa Nafsu dan Bid'ah

Pengikut hawa nafsu dan bid'ah adalah orang-orang yang berkiblat ke Ka'bah, namun akidah mereka bukan akidah Ahlus Sunnah wal Jamâ`ah. Misalnya adalah orang-orang yang mengkafirkan orang lain karena melakukan dosa besar, atau orang-orang yang meyakini kemaksuman para imam, atau orang yang mengatakan bahwa seorang yang sudah mencapai maqam al-washal (mencapai Allah) tidak lagi dibebani kewajiban Agama, atau juga orang-orang yang mengedepankan akal daripada nas-nas Syariat. Karena mengikuti hawa nafsu, mereka pun terpecah belah kepada banyak kelompok. Dan karena menjauh dari Agama, hawa nafsu mereka pun berserakan ke mana-mana, sehingga mereka terpecah belah.

Oleh karena itu, Allah melepaskan tanggung jawab Nabi-Nya dari mereka yang seperti ini, sebagaimana disinyalir dalam firman-Nya (yang artinya): "Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka." [QS. Al-An`âm: 159]

Di antara ciri orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dalam hal ini adalah mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, serta mencap mereka sebagai orang-orang yang fasik dan bid'ah tanpa alasan yang wajar. Mereka terbiasa memutus hubungan, saling menjauh, dan menebar kebencian. Sedangkan Ahlus sunnah, jika berdiskusi mengenai masalah ini, senantiasa memiliki tujuan yang baik. Mereka tidak memutus hubungan, tidak saling membelakang, karena khawatir terjerumus ke dalam apa yang diperingatkan Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—dalam firman-Nya (yang artinya): "Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka." [QS. Al-An`âm: 159]. Juga firman Allah (yang artinya): "Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka." [QS. Ali `Imrân: 105]

Seorang hamba tidak akan selamat dari penyakit hawa nafsu dan bid'ah kecuali dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, serta meniti jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan para shahabat beliau yang mulia.

Sebuah ungkapan mengatakan, "Seluruh kebaikan terkumpul pada sikap mengikuti orang-orang salaf (generasi awal); dan seluruh keburukan terletak pada bid'ah yang dibuat oleh orang-orang khalaf (generasi akhir)."

Ungkapan lain mengatakan, "Sesuatu yang pada masa awal Islam bukan termasuk perkara Agama, maka pada masa sekarang pun tetap bukan bagian dari Agama. Dan generasi akhir dari umat ini tidak akan baik kecuali dengan melakukan apa yang membuat baik generasi awalnya."

Beberapa Ayat Mengenai Keburukan Menuruti Hawa Nafsu

Beberapa ayat Al-Quran mencela tindakan menuruti hawa nafsu, serta menghinakan pelakunya. Misalnya adalah firman-firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berikut ini (yang artinya):

·         "Apakah setiap datang kepada kalian seorang rasul membawa suatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan (hawa nafsu) kalian lalu kalian menyombong; beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh?!" [QS. QS. Al-Baqarah: 87];

·         "Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas." [QS. Al-An`âm: 119];

Dalam banyak ayat Al-Quran, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—memperingatkan Nabi-Nya—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan umatnya agar tidak mengikuti hawa nafsu orang-orang kafir dan orang-orang yang menyimpang. Di antaranya, firman-Nya (yang berarti): "Dan berhati-hatilah engkau terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu." [QS. Al-Mâ'idah: 49]

Hadits Mengenai Keburukan Menuruti Hawa Nafsu

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—selalu memohon perlindungan kepada Allah dari akhlak, perbuatan, dan hawa (kecenderungan) yang buruk. Di antara yang paling beliau takuti menimpa umat beliau adalah sikap mengikuti syahwat perut, kemaluan, dan hawa nafsu yang menyesatkan.

·         Dalam sebuah hadits, beliau bersabda, "Sesungguhnya akan muncul dari umatku beberapa golongan yang hawa nafsu mengalir dalam diri mereka, sebagaimana bakteri penyakit anjing mengalir di tubuh penderitanya, sehingga tidak satu pun dari pori-pori dan persendiannya kecuali dimasukinya."

·         Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Anas—Semoga Allah meridhainya, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Adapun perkara-perkara yang membinasakan adalah: sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan sifat ujub seseorang terhadap dirinya sendiri."

Beberapa Atsar Mengenai Keburukan Mengikuti Hawa Nafsu

Para tokoh generasi salaf—Semoga Allah meridhai mereka—sangat berhati-hati terhadap hawa nafsu. Di samping juga mengingatkan umat Islam untuk bersikap demikian. Di antara perkataan mereka mengenai masalah ini adalah:

·         Ali—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terhadap kalian adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Mengikuti hawa nafsu menjauhkan seseorang dari kebenaran. Sedangkan panjang angan-angan membuatnya lupa kepada Akhirat."

·         Pada suatu ketika, seorang laki-laki berkata kepada Al-Hasan Al-Bashri, "Wahai Aba Sa`îd, jihad apakah yang paling mulia?" Al-Hasan menjawab, "Jihadmu melawan hawa nafsumu."

·         Ibnu Taimiyah berkata, "Jihad melawan hawa nafsu adalah sumber (akar) dari jihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya seseorang tidak akan mampu berjihad melawan orang-orang kafir sampai ia berhasil melawan hawa nafsunya."

·         Bisyr Ibnul Hâfi berkata, "Seluruh penyakit yang engkau rasakan terletak pada hawa nafsumu. Sedangkan seluruh obatnya terletak pada ketegasanmu melawannya."

·         `Athâ' berkata, "Barang siapa yang hawa nafsunya mengalahkan akalnya, dan keluhannya mengalahkan kesabarannya, maka aib dirinya akan terbuka."

·         Abû `Ali Ats-Tsaqafi berkata, "Barang siapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, maka akalnya akan menghilang dari dirinya."

Akibat Menuruti Hawa Nafsu

Setiap orang hendaklah merenungi betapa banyak kemuliaan yang hilang, dan betapa banyak orang yang terjerumus ke dalam kenistaan karena maksiat yang ia lakukan. Betapa sering sesuap makanan menyebabkan seseorang tidak bisa menikmati makanan-makanan yang jauh lebih lezat. Tidak jarang satu kelezatan menghalangi seseorang untuk mengecap kelezatan yang jauh lebih banyak. Alangkah seringnya hawa nafsu menyebabkan hilangnya kedudukan, membuat tertunduknya kepala karena malu, menyebabkan rusaknya nama baik, mengundang kehinaan, serta melekatkan aib yang tidak bisa dihilangkan. Namun sayang sekali, para budak nafsu telah buta dari semua itu.

Agar Seseorang Terhindar dari Sikap Mengikuti Hawa Nafsu

Dengan pertolongan Allah, seseorang bisa terhindar dari tindakan menuruti hawa nafsu dengan beberapa langkah berikut:

-      Tekad yang kuat. Yaitu tekad seorang manusia merdeka yang menyadari harga dirinya;

-      Kesabaran dalam menahan kepahitan sesaat;

-      Kekuatan jiwa yang menumbuhkan keberanian di dalam diri. Sesungguhnya keberanian pada hakikatnya adalah kesabaran sesaat.

-      Mengingat kepedihan yang lebih besar dari kelezatan yang diperoleh dengan mengikuti hawa nafsu;

-      Mengingat bahwa mempertahankan kedudukan agung di sisi Allah dan di hati hamba-hamba-Nya lebih baik dan lebih bermanfaat daripada mendapatkan kelezatan mengikuti hawa nafsu;

-      Mendahulukan kenikmatan menjaga kesucian dan kehormatan diri daripada kenikmatan yang didapatkan dari maksiat;

-      Menyadari bahwa diri ini diciptakan bukan untuk mengikuti hawa nafsu, akan tetapi untuk sebuah misi besar yang tidak bisa diwujudkan kecuali dengan melawan keinginan hawa nafsu itu;

-      Tidak sudi memilih kehidupan yang lebih buruk daripada kehidupan binatang. Binatang kadang-kadang bisa membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang mendatangkan bahaya bagi dirinya;

-      Mengigatkan diri akan hinanya hidup dalam kepatuhan terhadap hawa nafsu dan di bawah kendali Syetan;

-      Menimbang antara keselamatan Agama, kehormatan, harta, dan kedudukan dengan memperoleh kelezatan yang diinginkan nafsu;

-      Menyadari bahwa jika hawa nafsu telah mencampuri sesuatu, pasti akan merusaknya, walaupun sesuatu itu adalah ilmu dan kezuhudan. Sesungguhnya hawa nafsu adalah satu-satunya pintu masuk Syetan ke dalam diri manusia.

Saking hinanya tindakan menuruti kehendak nafsu, Allah bahkan mengumpamakan orang yang mengikuti hawa nafsu dengan seekor anjing.

Seandainya Anda memperhatikan sifat tujuh golongan manusia yang dinaungi oleh Allah—`Azza wajalla—(pada hari Kiamat), Anda akan menemukan bahwa mereka memperoleh kemuliaan itu adalah karena melawan kehendak hawa nafsu.

Terakhir, marilah kita sama-sama berjihad melawan hawa nafsu sembari memohon bantuan Allah, sembari tetap menyadari bahwa tiada upaya dan kekuatan kecuali hanya dengan pertolongan-Nya.

Walhamdulillâhi rabbil `âlamîn

 

 

Artikel Terkait

Keutamaan Haji