Islam Web

Haji & Umrah

  1. Haji & Umrah
  2. Ulama

Sa'îd ibnul Musayyab

 Sa

Islam menjadi kuat karena engkau dan orang-orang sepertimu. Engkau bagaikan sebuah gunung yang berdiri kokoh. Engkau berdiri dengan gagah di depan para penguasa tiran. Engkau mengajarkan kami bahwa kebenaran, meskipun tidak bersenjata, bisa mengalahkan kebatilan yang kaya senjata, dan bahwa ujian bagi seorang mukmin tidak lain adalah sarana untuk menambah izzah dan keimanannya. Sedangkan orang yang zalim akan surut ke belakang, goyah, gentar, serta takut menghadapi kebenaran dan izzah Islam. Selamat bagimu, wahai penghulu para tabi'in.

Setelah pemerintahan Umar Al-Fârûq—Semoga Allah meridhainya—berjalan selama dua tahun, Sa'id ibnul Musayyab dilahirkan di Madinah Al-Munawwarah, tempat tinggal para pembesar shahabat. Ia menerima ilmu dari Umar, Utsman ibnu Affân, Ali, Zaid ibnu Tsâbit, Abu Musa Al-Asy'ari, Abu Hurairah, dan para shahabat lainnya. Sa'id pun tumbuh dalam kehidupan yang penuh berkah. Ia mengikuti jalan para shahabat dan meneladani amal mereka, serta meriwayatkan banyak hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallamdari mereka.

Ia menikah dengan putri seorang shahabat yang mulia, Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya. Sa'id pun kemudian menjadi orang yang paling tahu hadits Abu Hurairah.

Allah mengaruniakan kepadanya sejak awal masa pertumbuhannya kecerdasan dan ingatan yang kuat. Para shahabat dan tabi'in pun mengakui keluasan ilmunya. Ia adalah pemimpin para fuqaha Madinah pada masa hidupnya. Fatwanya lebih diutamakan orang daripada fatwa ulama yang lain, sehingga ia dikenal sebagai faqih para fuqaha. Abdullah ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya—saja yang dipercaya dalam masalah fatwa di Madinah ketika itu, bila ditanya tentang permasalahan Fikih yang rumit, ia sering mengatakan, "Tanyakanlah kepada Sa'id. Karena sesungguhnya ia sering duduk bersama orang-orang shalih."

Qatâdah berkata tentang dirinya, "Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih tahu tentang perkara halal dan haram daripada Sa'id."

Cukuplah sebuah kebanggaan bagi Sa'id ibnul Musayyab, bahwa Khalifah yang adil, Umar ibnu Abdul Aziz merupakan salah satu muridnya. Ketika menjabat sebagai gubernur Madinah, Umar tidak pernah memutuskan suatu perkara pun kecuali setelah berkonsultasi dengan Sa'id. Pada suatu ketika, Umar mengutus seseorang untuk bertanya kepada Sa'id tentang suatu perkara. Tapi utusan itu kemudian mengajak Sa'id untuk menghadap Sang Khalifah. Sa'id pun menerima ajakan itu, dan pergi bersama si utusan. Sesampai di hadapan Umar ibnu Abdil Aziz, Sang Khalifah berkata kepada Sa'id, "Laki-laki ini telah keliru. Sesungguhnya kami mengutusnya untuk bertanya kepadamu di tempatmu."

Sepanjang umurnya, Sa'id hidup sebagai seorang yang terhormat dan penuh izzah. Ia tidak pernah menundukkan kepalanya kepada siapa pun, meskipun untuk itu punggungnya harus dicambuk dengan cemeti, atau diancam akan dipancung.

Sebagai contoh, gubernur Madinah pada masa pemerintahan Abdul Malik ibnu Marwan menyuruh Sa'id untuk membaiat Walid ibnu Abdul Malik, tapi Sa'id menolak. Sang Gubernur pun mengancam akan memenggal lehernya. Namun Sa'id tidak merubah pendiriannya, meskipun ia tahu betapa berat siksaan yang akan dihadapinya. Baru saja Sa'id menyatakan penolakan, bajunya langsung dilucuti dan ia dicambuk sebanyak lima puluh kali, lalu diarak sekeliling kota Madinah. Orang-orang yang melihatnya berkata, "Ini adalah sebuah kehinaan." Dengan penuh keyakinan, Sa'id membalas ucapan mereka, "Sebaliknya, kami lari dari posisi hina ke posisi yang kami sukai (ini)."

Abdul Malik berang kepada gubernur Madinah ketika mengetahui apa yang dilakukannya terhadap Sa'id. Abdul Malik bahkan sampai mengirim surat kepadanya, "Menghadapi seorang Sa'id, demi Allah, menjalin hubungan baik dengannya lebih engkau butuhkan daripada mencambuknya. Sesungguhnya kami sudah tahu pendapatnya yang berbeda."

Setelah mengalami penyiksaan yang sedemikian rupa, seseorang datang kepadanya dan memintanya berdoa untuk kehancuran Dinasti Umayyah. Tapi ia hanya berdoa, "Ya Allah, kokohkanlah Agamamu, menangkanlah wali-wali-Mu, dan hinakanlah musuh-musuh-Mu dalam keselamatan bagi umat Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam."

Pada suatu ketika, Al-Hajjâj ibnu Yusuf Ats-Tsaqafi shalat dengan tergesa-gesa. Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujud sebagaimana mestinya. Melihat itu, Sa'id mengambil segenggam kerikil dan melemparkannya ke tubuh Al-Hajjâj. Al-Hajjâj pun menyadari kesalahannya, sehingga ia pun melambatkan gerakan shalatnya. Hal itu terjadi sebelum Al-Hajjâj memangku jabatan gubernur di kerajaan Bani Umayyah.

Sa'id menolak ketika putrinya ingin dijadikan wanita paling terhormat di dunia Islam saat itu. Putrinya dilamar oleh oleh Abdul Malik ibnu Marwan untuk putra mahkotanya, yaitu Al-Walid ibnu Abdil Malik. Namun Sa'id menolak lamaran itu dengan tegas. Putrinya itu kemudian ia nikahkan dengan seorang penuntut ilmu yang miskin.

Sa'id mempunyai murid bernama Abdullah ibnu Wadâ'ah. Pada suatu ketika, Abdullah tidak datang ke majelis ilmu mereka beberapa hari. Sa'id pun berusaha mencari tahu kabarnya. Beberapa waktu kemudian, Abdullah datang dan meminta maaf. Ia mengabarkan bahwa ia tidak bisa datang disebabkan istrinya sakit, dan beberapa waktu kemudian meninggal dunia. Sa'id berkata kepadanya, "Kenapa engkau tidak memberi tahu kami ketika ia sakit, sehingga kami bisa menjenguknya, begitu pula ketika ia meninggal, sehingga kami bisa menyaksikan jenazahnya?"

Kemudian Sa'id berkata, "Wahai Abdullah, menikahlah. Janganlah engkau menemui Allah dalam keadaan membujang." Abdullah berkata, "Semoga Allah merahmatimu. Siapa yang mau menikahkan anaknya dengan aku yang miskin ini?" Sa'id berkata, "Aku akan menikahkanmu dengan putriku." Abdullah terdiam karena malu. Sa'id lalu berkata kepadanya, "Kenapa engkau diam? Apakah karena marah, ataukah menolak?" Abdullah berkata, "Aku sangat tidak sebanding dengannya." Sa'id berkata, "Bangkit dan panggillah beberapa orang Anshar." Kemudian Sa'id mendoakannya, dan mempersaksikan kaum Anshar tentang pernikahan putrinya. Seusai shalat Isya, Sa'id membawa putrinya ke rumah murid yang miskin itu, dengan membawa serta seorang pembantu, beberapa dirham uang, dan makanan. Sementara Abdullah masih tidak bisa mempercayai apa yang terjadi dengannya.

Sa'id sangat antusias menunaikan shalat berjamaah. Selama 40 tahun ia rutin melakukannya, tanpa pernah absen walau hanya sekali. Ia adalah sosok yang bertakwa, wara', dan banyak mengingat Allah. Pada suatu ketika, ia jatuh sakit. Lalu datanglah seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang sebuah hadits, dan saat itu ia masih terbaring sakit. Ia serta merta duduk, lalu menyampaikan kepadanya hadits yang ditanyakan itu. Laki-laki itu berkata kepadanya, "Aku berharap engkau tidak menyulitkan dirimu." Sa'id menimpal, "Aku tidak mau menyampaikan hadits dari Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—kepadamu dalam keadaan berbaring."

Di antara bentuk penghormatannya terhadap syiar-syiar Allah adalah ungkapannya, "Jangan kalian mengatakan: 'mushaf (Al-Quran) kecil' atau 'mesjid kecil'. Karena segala yang menjadi milik Allah adalah besar, agung, dan indah." Sa'id tidak suka kata-kata mushaf, mesjid, dan kalimat lainnya yang identik dengan Allah disebut menggunakan bahasa yang mengecilkan atau meremehkan, karena ia ingin mengagungkan benda-benda itu.

Di ujung usianya, Sa'id jatuh sakit. Semakin lama, sakitnya semakin keras. Suatu ketika, ia dijenguk oleh Nâfi' ibnu Jubair. Saat Nâfi' di sana, Sa'id jatuh pingsan. Nâfi' berkata kepada keluarga Sa'id, "Hadapkanlah ia ke arah kiblat." Keluarganya pun mengikuti saran itu. Kemudian Sa'id kembali sadarkan diri, lalu berkata, "Siapa yang menyuruh kalian memutar arah tempat tidurku ke arah kiblat? Apakah Nâfi' yang menyuruh kalian?" Nâfi' berkata, "Iya." Sa'id berkata kepadanya, "Seandainya aku bukan orang yang biasa menghadap kiblat dan menganut Islam, demi Allah, aku tidak akan mendapatkan manfaat apa-apa dari tindakan kalian memutar arah tempat tidurku."

Ketika menghadapi detik-detik wafatnya, Sa'id ingat bahwa ia meninggalkan sejumlah harta. Saat itu, ia berkata, "Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku tidaklah meninggalkan harta itu melainkan untuk menjaga Agamaku."

Sa'id meninggal dunia pada tahun 93 H. (atau tahun 94 H. dalam versi lain). Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat-Nya yang luas.

[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]

Artikel Terkait

Keutamaan Haji