Ada seseorang yang sudah membayar kafarat sumpahnya dengan puasa tiga hari, tapi setelah itu, ia diberikan kemampuan harta untuk memberi maka sepuluh orang miskin. Apakah puasa itu dianggap cukup sebagai kafaratnya ataukah harus memberi makan sepuluh orang miskin setelah itu?
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Orang yang tidak mampu membayar kafarat sumpah dengan salah satu dari tiga pilihan: memerdekakan budak, atau memberi makan (sepuluh orang miskin), atau memberi mereka pakaian, kemudian berpuasa tiga hari (sebagai kafarat alternatif), tapi setelah itu ia mendapatkan keluasan rezeki, maka ia tidak wajib membayar kafarat lagi dengan salah satu dari tiga pilihan di atas berdasarkan kesepakatan ulama. Alasannya adalah karena ia telah bebas dari tanggung jawabnya setelah membayar kafarat dengan berpuasa, dan ini sangat jelas. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya adalah puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (kemudian melanggarnya)." [QS. Al-Mâ'idah: 89]
Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang orang yang sudah mulai berpuasa, kemudian ia mampu melakukan salah satu dari pilihan kafarat yang tiga sebelum menyelesaikan puasa tiga hari. Ibnu Qudâmah berkata dalam kitab Al-Mugni, "Jika ia telah mulai berpuasa, kemudian ia mampu memerdekakan budak atau memberi makan atau memberi pakaian, maka ia tidak wajib kembali kepada tiga pilihan pertama. Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Hasan dan Qatâdah. Pendapat inilah yang diambil oleh Malik, Asy-Syafi`i, Ishâq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir. Tetapi diriwayatkan dari An-Nakha`i dan Al-Hakam, bahwa ia wajib kembali kepada salah satu dari tiga pilihan kafarat pertama. Pendapat ini diambil oleh Ats-Tsauri dan Ashhâbur Semoga Allah meridhainya'yi, dengan alasan bahwa ia telah mampu melakukan 'kafarat yang diganti' (utama) sebelum menyempurnakan 'kafarat pengganti' (alternatif), sehingga ia wajib kembali (kepada kafarat utama)."
Kemudian ia—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Jika ia mau berpindah kepada yang lebih tinggi, maka ia boleh melakukannya, menurut pendapat mayoritas ulama." [Al-Mughni]
Wallâhu a`lam.
Anda dapat mencari fatwa melalui banyak pilihan