Apa hukumnya jika seseorang mengucapkan sumpah Al-Hâsimah' (sumpah yang diucapkan atas tuntutan lawan sangketa) dalam perkara yang diangkat terhadapnya, dengan mengingkari keberadaan hak si penuntut di tangannya, karena di tangan si penuntut itu juga ada uang miliknya yang jumlahnya melebihi uang yang diperkarakan oleh si penuntut itu terhadapnya? Ketika itu, orang yang bersumpah ini meyakini betul bahwa ia tidak terikat oleh tanggungan yang harus dibayarkan kepada si penuntut, dengan berpegang kepada prinsip saling memutihkan hutang dan niat baik untuk tidak merampas hak siapa pun, sekaligus menjaga haknya dari gangguan si penuntut, karena ia khawatir jika menolak bersumpah, si penuntut ini yang akan bersumpah secara zalim. Berdasarkan itu, ia memutuskan untuk bersumpah, apa hukumya? Dan apakah yang mesti dilakukan dalam semua kondisi?
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Sikap yang wajib diambil oleh seorang yang diperkarakan (terdakwa) adalah jujur dalam sumpahnya apabila hakim memintanya untuk bersumpah. Siapa yang berdusta dalam sumpahnya untuk menghilangkan hak orang yang memperkarakannya berarti termasuk ke dalam sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Barang siapa yang bersumpah sehingga mendapatkan harta karenanya, padahal ia berdusta dalam sumpah itu, niscaya ia akan menemui Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya." [HR. Al-Bukhâri dll]
Tetapi apabila seorang terdakwa memiliki hak di tangan orang yang memperkarakannya (penuntut/pendakwa), dan ia menduga kuat bahwa si penuntut akan mengingkarinya, makan terdakwa juga boleh mengingkari hak penuntut itu meskipun melalui sumpah, dengan syarat ia berniat dengan sumpahnya itu untuk bersilat lidah, bukan sebenarnya. Ini merupakan pendapat mazhab Maliki dan Syafi`i, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtâj. Ia berkata, "Boleh bagi seseorang untuk balas mengingkari hak orang yang lebih dahulu mengingkari haknya, jika ia memang memiliki hak di tangan orang itu dalam jumlah yang sama atau lebih dari hak orang itu di tangannya, sehingga terjadilah saling pemutihan hutang meskipun tidak terwujud syarat-syaratnya, karena kondisi darurat yang memaksa. Dan jika haknya di tangan orang yang mengingkari itu lebih sedikit daripada hak orang itu di tangannya, ia boleh mengingkari hak orang itu seukuran haknya yang ada di tangan orang itu saja."
Ad-Dusûqi mengatakan, "Apabila ada dua orang yang saling terikat hak satu sama lain, lalu salah satunya mengingkari hak yang lain, maka boleh bagi yang diingkari ini mengingkari hak orang yang mengingkari itu dalam jumlah yang sepadan dengan haknya, dan ia boleh bersumpah dan bersilat lidah untuk hal itu." [Lihat: Hâsyiah (catatan tambahan) Ad-Dusûqi terhadap kitab Asy-Syarhul Kabîr]
Dalil tentang bolehnya melakukan hal itu adalah firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya):
· "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa." [QS. Asy-Syûrâ: 40];
· "Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan kejahatan yang ditimpakan kepada kalian." [QS. An-Nahl: 126]
Hanya saja kita katakan 'dengan bersilat lidah' karena ada hadits-hadits yang memerintahkan hal itu. Imam Al-Bukhâri memberi judul hadits-hadits tersebut dalam kitabnya dengan: "Bab bersilat lidah sebagai solusi dari berbohong".
Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Seseorang boleh berdusta terhadap dirinya dan orang lain apabila tidak mengandung mudharat (bahaya) kepada orang lain itu jika ia berdusta untuk mendapatkan haknya."
Adapun apabila dugaan Anda tidak kuat bahwa ia akan mengingkari hak Anda, maka Anda tidak boleh mengingkari haknya, karena tidak ada keterpaksaan untuk melakukan itu, sekaligus untuk mengamalkan prinsip yang disebutkan di awal fatwa ini. Meskipun kami berpendapat bahwa lebih baik Anda bersikap jujur kepada hakim dan tidak bersilat lidah supaya keluar dari perbedaaan pendapat seputar masalah ini, serta berjalan di atas kaidah toleransi dan memaafkan. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya):
· "Maka barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah." [QS. Asy-Syûrâ: 40];
· "Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan." [QS. Asy-Syûrâ: 43]
Wallâhu a`lam.
Anda dapat mencari fatwa melalui banyak pilihan