Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Penyakit Hati

Ghurûr (Kondisi Teperdaya)

Ghurûr (Kondisi Teperdaya)

Tidak diragukan lagi bahwa akhlak tercela merupakan godam penghancur bagi individu dan masyarakat. Setiap kali individu dan masyarakat menyeleweng dari akhlak mulia, serta tersebar di dalamnya penyakit dan wabah akhlak buruk, maka masyarakat tersebut akan menghadapi keretakan dan keruntuhan, sehingga mengancam eksistensi dan kelangsungannya.

Di antara kerusakan akhlak paling besar yang menjangkiti individu dan masyarakat adalah ghurûr. Sebuah penyakit yang menunjukkan kurangnya kecerdasan, redupnya cahaya akal dan pandangan hati, sehingga seorang hamba berasa teperdaya oleh apa-apa yang Allah berikan kepadanya, berupa kekuatan, kecantikan, dan kekayaan dunia yang fana. Dia pun menjadi berbangga diri di hadapan sesamanya, angkuh, dan sombong terhadap Rabbnya, Penciptanya, dan Pelindungnya. Dia tidak patuh kepada Allah, tidak menjalankan kewajiban menyembah kepada-Nya, melainkan berjalan mengikuti syahwatnya tanpa mempedulikan bahwa Allah melihatnya. Dia tidak perhatian terhadap kondisi sesamanya di sekitarnya. Hal itu karena hawa nafsu telah menguasai dirinya, dan dia selalu berdalih setiap membuat kesalahan. Padahal Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfirman (yang artinya): "Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Rabbmu yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.” [QS. Al-Infithâr: 6-7]. Maksudnya, bagaimana engkau berani menentang Rabbmu, lalu menelantarkan kewajibanmu, dan melakukan apa-apa yang diharamkan bagimu? Ini adalah ungkapan celaan bagi hamba yang teperdaya, yang jiwanya merasa nyaman mengikuti hawa nafsunya, meskipun di dalamnya terdapat hal-hal yang membuat Allah—Subhânahu wata`âlâ—murka.

Antara Ghurûr dan Kejahilahan

Sesunguhnya salah satu penyebab yang membuat kerusakan ini melekat dalam diri adalah kejahilanan. Kejahilan akan hakikat diri, kejahilan akan hakikat kehidupan, kejahilan akan sifat-sifat Allah—Subhânahu wata`âlâ. Jika manusia tidak tahu semua makna ini, maka dia akan mengangkat dirinya di atas kadarnya, angkuh terhadap makhluk, sombong kepada Allah, sehingga dia menjadi orang yang teperdaya.

Macam-Macam Ghurûr

Para ulama menyebutkan bahwa sifat ghurûr ini ada beberapa macam, dan bertingkat-tingkat. Al-Ghazâli—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Ghurûr yang paling besar dan buruk adalah ghurûr-nya orang-orang kafir, para pegiat dosa dan kerusakan.” Lalu dia menyebutkan beberapa hal yang secara singkatnya sebagai berikut:

Contoh pertama: Ghurûr orang-orang kafir.

Di antara mereka ada yang terperdaya oleh kehidupan dunia, dan di antara mereka juga ada yang terjerat tipu daya sang penipu (syetan) yang mengahalangi mereka dari Allah. Adapun orang yang terperdaya oleh kehidupan dunia adalah mereka yang mengatakan, "Kes lebih baik daripada kredit." Kes yang dimaksud adalah pembayaran di awal, dan kredit adalah pembayaran di akhir. Dunia adalah kes, dan akhirat adalah kredit. Dengan demikian dunia lebih baik daripada akhirat, sehingga harus lebih di dahulukan. Mereka juga berkata, "Keyakinan lebih baik daripada keraguan. Kenikmatan dunia adalah suatu yang yakin, dan kenikmatan akhirat adalah suatu yang ragu. Maka kami tidak akan meninggalkan suatu yang yakin untuk suatu yang ragu.”

Obat penyakit ghurûr ini bisa dengan keimanan, dan bisa pula dengan penjelasan. Adapun dengan keimanan adalah dengan meyakini firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Apa yang ada di sisi kalian akan habis dan apa yang ada di sisi Allah akan kekal.” [QS. An-Nahl: 96]. Dan firman-Nya (yang artinya): "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari pada dunia.” [QS. Adh-Dhuhâ: 4]. Sedangkan mengobatinya dengan penjelasan adalah dengan mengetahui letak rusaknya analogi semacam ini yang dirangkai oleh syetan di dalam hati mereka.

Analogi yang dirangkai oleh syetan ini memiliki dua asas:

Pertama, mereka katakan kes lebih baik daripada kredit, lalu menganalogikan dunia dengan kes, dan akhirat dengan kredit. Inilah dia letak kekeliruannya, karena sebenarnya bukanlah demikian. Jika kes itu serupa dengan kredit dalam hal ukuran atau besarnya, maka ia lebih baik, namun jika kes lebih sedikit, maka kredit lebih baik. Buktinya orang kafir yang teperdaya tersebut akan mengeluarkan dalam perniagaannya satu dirham kes, dan mengambilnya sepuluh dirham secara kredit. Dia tidak akan mengatakan bahwa kes—dalam hal ini—lebih baik daripada kredit, kemudian meinggalkan kredit. Lihatlah, seroang pasien yang dilarang oleh dokter makan buah-buahan, dan makanan-makanan enak, dia akan menghindari makanan tersebut pada saat itu juga, karena takut ditimpa penyakit di masa depan.

Kedua, mereka katakan keyakinan lebih baik daripada keraguan. Lalu menganalogikan dunia dengan keyakinan dan akhirat dengan keraguan. Analogi yang kedua ini lebih rusak lagi dari yang pertama. Karena keyakinan lebih baik daripada keraguan jika keyakinan dan keraguan itu sama ukurannya. Jika tidak, maka tidaklah demikian. Sebab kelelahan yang dialami oleh para pedagang adalah suatu yang yakin, sementara keuntungan yang dia tuju adalah suatu yang belum pasti. Usaha yang dikeluarkan oleh orang yang mendalami agama adalah suatu yang yakin, sementara keberhasilannya untuk mendapatkan ilmu adalah suatu yang belum pasti. Orang-orang yang berburu, usahanya dalam berburu adalah suatu yang yakin, sementara hasil buruannya adalah suatu yang belum pasti.

Analogi yang salah ini diyakini kesalahannya oleh setiap muslim. Keyakinan ini berdasarkan dua hal: pertama, keimanan dan kepercayaan, serta taklid kepada para nabi dan ulama. Hal ini juga akan menghilangkan ghurûr. Ini adalah keyakinan orang-orang awam, dan kebanyakan ulama. Perumpamaan mereka adalah seperti seorang sakit yang tidak tahu obat penyakitnya. Kemudian para dokter sepakat bahwa obatnya adalah ramuan tertentu. Maka orang yang sakit itu tanpa ragu akan mempercayai para dokter tersebut, dan tidak menuntut mereka untuk menunjukkan bukti-bukti kedokteran yang membuktikan kebenaran khasiat obat tersebut, melainkan dia akan mempercayai, dan melakukan saran mereka. Kesimpulannya, tipu daya syetan bahwa akhirat itu adalah keraguan dapat dihilangkan baik dengan keimanan yang sifatnya taklid, ataupun dengan melihatnya dengan pandangan hati, dan kesaksian jiwa. Orang-orang yang beriman dengan lisan dan akidah mereka, apabila mereka menyia-nyiakan perintah Allah, meninggalkan amal shalih, melumuri diri dengan syahwat dan maksiat, maka mereka telah mengikuti orang-orang kafir dalam ghurûr mereka ini, karena mereka telah mendahulukan kehidupan dunia atas kehidupan akhirat. Hanya saja urusan mereka lebih ringan, karena orang yang beriman akan terhindar dari azab yang kekal. Mereka pada akhirnya akan keluar dari neraka walau setelah beberapa lama di neraka. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan sesungguhnya Aku Maha Pengamun bagi orang yang bertaubat dan beramal shalih, kemudian mengambil petunjuk.” [QS. Thâhâ: 82].

Contoh kedua: Ghurûr para pegiat dosa dari kalangan kaum mukminin.

Mereka berkata, "Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, dan sungguh kami mengharap ampunan-Nya”, lalu mereka bergantung dengan harapan tersebut, dan mengabaikan amal shalih. Mereka menganggap baik angan-angan dan keteperdayaan mereka, dengan menamakannya sebagai rajâ’ (hal berharap kepada Allah), dengan anggapan bahwa rajâ’ memiliki kedudukan yang terpuji dalam Agama, dan bahwa nikmat Allah itu sangat luas, rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Mereka mengharapkan nikmat dan rahmat tersebut dengan wasilah iman. Jika Anda beratanya, "Lalu dimanakah letak kesalahan perkataan mereka ini? sementara Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (dalam Hadits Qudsi), "Aku adalah sebagaimana prasangka hamba-Ku terhadap-Ku." Maka hendaklah dia berprasangka baik terhadap-Ku.

Perkataan ini adalah perkataan yang dapat diterima secara zahir, akan tetapi ketahuilah bahwa syetan tidak memperdaya manusia kecuali dengan hal semacam ini. Kalaulah bukan karena zahirnya yang baik, niscaya hati tidak akan tertipu. Akan tetapi Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah menyingkap hal itu dengan sabda beliau, "Orang cerdas itu adalah orang yang dapat menundukkan hawa nafsunya, dan beramal untuk bekal setelah mati, dan orang bodoh itu adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, lalu dia berangan-angan terhadap Allah.” Angan-angan terhadap Allah inilah yang diubah namanya oleh syetan menjadi rajâ’, supaya orang-orang bodoh tertipu. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah menjelaskan hakikat rajâ’ dengan firman-Nya (yang artinya): "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang yang mengharap (rajâ’) rahmat Allah.” [QS. Al-Baqarah: 218]. Artinya, sesungguhnya orang-orang yang seperti inilah yang paling layak memiliki rajâ', karena pahala di akhirat adalah balasan terhadap amal shalih. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya kalian akan mendapatkan balasan pahala kalian pada hari Kiamat.” [QS. Âli `Imrân: 185]. Kalaulah seorang tukang diminta untuk memperbaiki sesuatu, dan dia akan diberi upah karena pekerjaannya itu, sementara orang yang akan memberinya upah adalah orang yang sangat dermawan, menepati janji, dan gemar menambah upah, lalu datanglah tukang tersebut, kemudian dia hanya duduk menunggu upahnya, tanpa melakukan pekerjaan yang diminta, dengan alasan bahwa pemberi upah itu adalah orang yang dermawan, apakah tukang tersebut menganggap perbuatannya itu sebagai angan-angan, dan keteperdayaan, ataukah rajâ’?

Hal itu terjadi karena kejahilan akan perbedaan antara rajâ’ dan ghurûr. Pernah dikatakan kepada Al-Hasan, “Suatu kaum berkata, 'Kami berharap kepada Allah.' Sementara mereka mengenyampingkan amal.” Al-Hasan lalu berkata, “Tidak mungkin, tidak mungkin. Itu hanya angan-angan mereka belaka. Barang siapa yang mengharap sesuatu, niscaya dia akan mencarinya, dan barang siapa yang takut terhadap sesuatu, niscaya dia akan lari menjauhinya.”

Jika Anda bertanya, "Lalu di mana letak rajâ’ yang terpuji?" Ketahuilah bahwa rajâ’ yang terpuji itu ada pada dua tempat: Pertama, bagi pegiat dosa yang berpikir untuk bertaubat, lalu syetan membuatnya berputus asa. Di sinilah keputusasaan tersebut harus dibasmi dengan rajâ’, dan mengingat firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya), "Sesungguhnya Allah mengampuni dosa seluruhnya.” [QS. Az-Zumar: 53]. Jika dia berharap mendapatkan ampunan dengan taubat yang dia lakukan, maka dia beruntung. Kedua, bagi orang yang lalai dari amal-amal sunnah, dan hanya melakukan amal-amal wajib. Maka dia mengharapkan nikmat Allah, dan apa-apa yang Allah janjikan kepada orang-orang shalih, sehingga dengan harapan (rajâ’) tersebut bangkitlah semangat beribadah dalam dirinya, kemudian dia pun melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, dan mengingat firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Sungguh telah beruntung orang-orang yang beriman.” [QS. Al-Mu'minûn: 1]. Hingga firman-Nya (yang artinya): "(Yaitu) orang-orang yang mewarisi Surga Firdaus, dan mereka kekal di dalamnya.” [QS. Al-Mu'minûn: 11].

Contoh ketiga: Ghurûr orang-orang yang memiliki ketaatan dan kemaksiatan, hanya saja kemaksiatan mereka lebih banyak.

Mereka berharap mendapatkan ampunan. Dan dengan harapan (rajâ’) tersebut mereka mengira timbangan kebaikan mereka akan semakin berat. Padahal timbangan keburukan mereka jauh lebih berat. Ini adalah kejahilan yang amat sangat. Anda melihat seorang dari mereka bersedekah dengan beberapa dirham dari hartanya yang halal dan haram, sedangkan apa yang dia ambil dari harta kaum muslimin jauh lebih banyak dari sedekahnya. Lalu dia mengira bahwa sedekah sepuluh dirham akan membersihkan seratus dirham hartanya yang kotor. Yang demikian itu merupakan kejahilan, dan keterpedayaan yang amat sangat.

Perbedaan antara Percaya pada Allah dengan Ghurûr dan Kelemahan

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Perbedaan antara keduanya adalah bahwa orang yang percaya pada Allah telah melakukan apa yang Allah perintahkan kepadanya, dan dia percaya pada Allah bahwa Allah akan memunculkan buah amalannya, mengembangkan, dan menyucikannya, bagaikan seorang yang menanam pohon dan menabur benih. Sementara orang yang teperdaya dan lemah telah menyia-nyiakan perintah Allah, dan dia mengaku percaya pada Allah. Padahal kepercayaan ini hanya akan benar setelah melalui usaha keras.” Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—juga berkata, "Kepercayaan adalah ketenangan yang bersandar pada dalil-dalil dan tanda-tanda yang menjadikan hati tentram. Maka semakin kuat tanda-tanda tersebut semakin kuat dan mantap pula kepercayaan, apalagi disertai dengan banyaknya percobaan, dan benarnya firasat.”

Adapun ghurûr adalah kondisi seorang yang tertipu dan teperdaya oleh nafsunya, syetannya, keinginannya, dan angan-angannya yang tidak benar terhadap Rabbnya, hingga dia mengikuti apapun kehendak nafsunya, dan selalu berangan-angan terhadap Allah. Ghurûr adalah Anda percaya terhadap orang yang tidak dapat dipercaya, Anda merasa tenang dengan orang yang tidak dapat mendatangkan ketenangan, dan Anda berharap kebaikan dari tempat yang tidak dapat mendatangkan kebaikan, sebagaimana orang yang tertipu oleh fatamorgana.

Di antara bentuk ghurûr yang paling besar adalah Anda melihat Allah selalu memberi Anda kenikmatan, sementara Anda berada dalam hal-hal yang tidak disukai-Nya. Syetan bertugas untuk memperdaya manusia. Sementara jiwa yang selalu menyuruh pada keburukan telah diciptakan untuk senantiasa teperdaya. Apabila bersatu antara pendapat yang menyimpang, sifat aniaya, syetan, keteperdayaan, dan jiwa yang mudah diperdaya, maka orang yang di dalam dirinya terkumpul sifat-sifat yang demikian itu dipastikan terjadi ghurûr padanya. Syetan telah menipu orang-orang yang teperdaya, dan membuat mereka merasa yakin mendapat ampunan dan kebaikan dari Allah, sementara mereka tetap berada dalam hal-hal yang dibenci oleh Allah. Syetan membisiki mereka dengan taubat guna menenangkan hati mereka, kemudian mendorong mereka untuk mengakhirkan taubat, hingga ketika ajal menjemput mereka, mereka dalam keadaan yang paling buruk. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan kalian ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kalian telah ditipu terhadap Allah oleh (syetan) yang amat penipu.” [QS. Al-Hadîd: 14].

Orang yang paling ghurûr adalah orang yang apabila mendapatkan kebaikan dari Allah dia berkata, "Ini milikku." [QS. Fushshilat: 50]. Yakni, akulah yang paling pantas, paling layak dan paling berhak memilikinya. Lalu dia berkata, "Aku mengira bahwa Kiamat itu tidak akan terjadi." [QS. Fushshilat: 50]. Dia menyangkan bahwa dirinyalah yang paling berhak atas nikmat yang diberikan oleh Allah, sementara dia kafir terhadap-Nya. Kemudian ghurûr-nya semakin bertambah dan berkata, "Kalaupun aku harus kembali kepada Rabbku, sungguh aku di sisi-Nya benar-benar akan mendapatkan surga dan kemuliaan.” [QS. Fushshilat: 50]. Itulah dia orang yang teperdaya oleh ghurûr. Dia teperdaya oleh syetan, teperdaya dengan janji-janji dan angan-angannya, sementara dunianya dan dirinya membantunya untuk semakin teperdaya, dan dia akan terus menerus demikian sampai akhirnya jatuh ke dalam jurang kehancuran.

Wahai hamba yang lemah, sesungguhnya Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah mengingatkan Anda agar tidak terjerumus ke dalam jurang ini, dan memberitahu Anda tentang dekatnya masa yang di dalamnya Anda harus berdiri di hadapan-Nya untuk dihisab dan dibalas, yaitu pada hari yang menjadikan anak-anak beruban lantaran huru-haranya yang sangat mengerikan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang ayah tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong ayahnya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kalian, dan jangan (pula) penipu (syetan) memperdayakan kalian dalam (mentaati) Allah.” [QS. Luqmân: 33].

Maka janganlah sekali-kali Anda menjadi orang yang tertipu. Ingatlah perkataan Abdullah bin Mas`ûd—Semoga Allah meridhainya, "Tak satupun dari kalian melainkan akan menghadap sendirian kepada Allah pada hari Kiamat. Kemudian Allah bertanya kepadanya, 'Wahai anak Adam, apa yang membuatmu tertipu dariku? Wahai anak Adam apa yang telah engkau lakukan dengan apa yang engkau ketahui?" Kita berdoa semoga Allah—Subhânahu wata`âlâ—menganugerahkan kita pandangan hati, dan memperbaiki diri kita, zahir dan batin, serta menyelamatakan kita dari bahaya ghurûr.

Artikel Terkait