Berzina di Bulan Ramadhân dalam Kondisi Musafir

27-3-2019 | IslamWeb

Pertanyaan:

Ada seseorang yang melakukan perjalanan jauh lebih dari 12 jam pada akhir bulan Ramadhân (antara tanggal 28–30). Ketika sampai di daerah tujuannya, ia tidak mengetahui secara pasti apakah hari itu masih Ramadhân atau sudah Hari Raya. Pada waktu itu, ia melakukan perbuatan zina, dan kemudian hari, ia baru menyadari bahwa ternyata ia melakukan perbuatan tersebut pada siang hari Ramadhân. Ia pun tersadar bahwa ia tidak berpuasa selama dua hari di bulan Ramadhân. Apa yang harus ia lakukan?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Pertama, terkait penentuan masih ada atau telah berlalunya Ramadhân dalam kasus seperti ini, hukum yang dipakai adalah hukum dasar yaitu masih adanya bulan Ramadhân dan belum munculnya hilal bulan Syawwâl, karena inilah yang diyakini keberadaannya, dan kita tidak boleh meninggalkan sesuatu yang diyakini itu kecuali dengan adanya keyakinan lain yang sama kuat dengannya. Oleh karena itu, semestinya orang ini wajib berhati-hati dan bertanya terlebih dahulu. Ini yang pertama.

Kedua, perbuatan zina adalah dosa besar walaupun bukan pada bulan Ramadhân. Tentu dapat dipahami betapa besar dosanya jika itu dilakukan di bulan Ramadhân. Bagaimanapun, yang wajib ia lakukan sekarang adalah bertobat dan banyak beristigfar meminta ampun kepada Allah Yang Maha Pengampun.

Ketiga, apabila perjalanan yang dilakukannya itu adalah sebuah perjalanan maksiat (untuk tujuan dosa), atau disertai niat untuk bermukim di daerah tujuan itu empat hari selain hari kedatangan dan hari keluarnya dari tempat itu, dan kebatalan puasanya disebabkan oleh jimak, maka ia wajib membayar kafarat dan meng-qadha puasanya. Kafaratnya adalah puasa dua bulan berturut-turut. Jika ia tidak sanggup, bisa diganti dengan memberi makan enam puluh fakir miskin, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahîh riwayat Al-Bukhâri dan Muslim tentang seseorang yang menjimak istrinya di bulan Ramadhân.

Empat, bila perjalanan yang ia lakukan itu adalah sebuah perjalanan ketaatan (untuk ibadah dan bukan dosa), dan ia tidak berniat untuk bermukim di daerah tujuannya, tetapi ingin segera kembali ke daerah asal setelah selesai urusannya, maka ia boleh mengambil keringanan yang diberikan kepada musafir, di antaranya kebolehan untuk tidak berpuasa. Bila demikian, berarti ia tidak diharuskan membayar kafarat, tetapi hanya harus meng-qadha disertai tobat kepada Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—atas dosa besar ini.

Wallâhu a`lam.

www.islamweb.net