Menjimak Istri di Siang Hari Ramadhân, dan Wafat Sebelum Sempat Membayar Kafarat

2-4-2019 | IslamWeb

Pertanyaan:

Saya akan menceritakan kepada Anda tentang apa yang terjadi pada salah seorang kerabat saya yang telah meninggal dunia enam bulan lalu. Pada suatu hari di bulan Ramadhân, ia masuk ke rumahnya dan mendapatkan istrinya tidak memakai pakaian dan duduk di hadapannya. Ia pun tidak mampu mengendalikan dirinya, sehingga ia menjimak istrinya di siang itu. Apakah ia berdosa? Apakah ia wajib membayar kafarat? Apa hukum perbuatan yang dilakukan oleh istrinya itu? Bagaimana status kafaratnya, karena ia telah meninggal dunia—semoga Allah merahmatinya? Sebagai informasi, ayahnya sekarang telah berumur 74 tahun dan ibunya 69 tahun.

Jawaban:

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Pernah kami jelaskan dalam beberapa fatwa sebelumnya tentang keharaman menjimak istri di siang hari bulan Ramadhân bagi orang yang wajib berpuasa. Istri juga tidak boleh mematuhi suami untuk melakukan itu. Suami yang melakukan perbuatan itu sementara ia tahu hukum keharamannya, dan ia sengaja melakukan itu dengan keinginan sendiri (tidak terpaksa), diwajibkan meng-qadhâ' puasa itu disertai dengan membayar kafarat. Bentuk kafaratnya adalah sebagai berikut secara berurutan: Pertama, memerdekakan satu orang budak. Kedua, jika tidak mampu, ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Ketiga, jika tidak juga mampu, ia harus memberi makan 60 orang miskin. Istrinya juga wajib meng-qadhâ' puasanya jika mengetahui hukum haramnya berjimak ketika itu, lalu ia sengaja melakukannya dan dengan keinginan sendiri. Adapun wajib atau tidaknya ia membayar kafarat, terdapat perbedaan pendapat para ulama tentangnya.

Jika istrinya menggodanya sehingga mereka berdua terjatuh ke dalam perbuatan itu maka si istri harus bertobat kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ, karena telah sengaja membatalkan puasanya sendiri jika ia berpuasa, dan juga membatalkan puasa suaminya. Tetapi godaan istri tetap tidak bisa menjadi alasan untuk menodai kehormatan bulan suci ini dan membatalkan puasa.

Karena orang yang melakukan hal itu telah meninggal dunia, sementara ia belum membayar kafaratnya sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan, maka kami turut berdoa semoga Allah mengaruniakan ampunan dan rahmat kepadanya. Jika ia memiliki harta warisan maka ahli warisnya wajib mengeluarkan kafaratnya dari harta itu, yaitu memberi makan 60 orang miskin. Namun jika ia tidak meninggalkan harta warisan maka dianjurkan bagi keluarganya membayarkan kafaratnya, tetapi hukumnya tidak wajib.

Dan pihak keluarga harus berusaha sungguh-sungguh memohonkan ampunan baginya. Jika salah seorang dari mereka ingin berpuasa untuknya maka itu pun boleh dilakukan, menurut pendapat yang kuat. Caranya adalah dengan berpuasa untuknya selama dua bulan berturut-turut, berdasarkan keumuman hadits shahîh yang diriwayatkan dari `Aisyah—Semoga Allah meridhainya: "Barang siapa meninggal dunia dengan meninggalkan utang puasa maka wali (keluarga)-nyalah yang berpuasa untuknya."

Wallâhu a`lam.

www.islamweb.net