Ucapkanlah Kata-kata yang Baik kepada Manusia

| IslamWeb

Bulan Ramadhân adalah bulan kedermawanan dan kebaikan, serta bulan saling berlomba dalam melakukan kebaikan, baik dengan kata-kata ataupun perbuatan. Di antara kebaikan kata-kata adalah mengucapkan kata-kata yang baik, lembut, dan tidak menyakiti. Karena sebagaimana dimaklumi, setiap perkataan yang diucapkan oleh manusia ditulis dan dijaga di dalam catatan yang tidak akan hilang dan dilupakan oleh Rabb. Ini adalah sebuah kebenaran yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dalam berbagai ayatnya. Hal itu supaya manusia selalu melakukan intropeksi diri dan menjaga lisannya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berifirman (yang artinya):

·         "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." [QS. Qâf: 18];

·         "Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka." [QS. Az-Zukhruf: 80]

Terdapat banyak ayat dalam masalah ini, yang bertujuan mengingatkan manusia bahwa semua ucapan mereka akan dicatat, baik sebagai amal kebaikan mereka jika ucapan itu baik, ataupun amal keburukan mereka jika ucapan itu buruk. Jika seseorang konsisten terhadap ucapan yang baik dalam setiap kondisinya, maka tidak akan ditulis dalam catatan amalnya kecuali kebaikan yang akan membuatnya bahagia pada hari Kiamat kelak, dan begitu juga sebaliknya.

Masalah ini muncul sebagai respon terhadap perintah Allah—Tabâraka wata`âlâ—yang menyuruh hamba-hamba-Nya untuk memilih ucapan yang paling baik, dan kalimat yang paling indah. Allah—Tabâraka wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia." [QS. Al-Baqarah: 80]

Maksudnya, lakukanlah hal itu ketika kalian berbicara dengan sesama kalian, agar di antara kalian lahir keakraban, kasih sayang, dan semangat persaudaraan, serta kalian terjauh dari sebab-sebab pertikaian, pemutusan hubungan, dan permusuhan.

Yahya bin Mu`âdz Ar-Râzi—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Hendaklah orang mukmin mendapatkan tiga perkara darimu, agar engkau termasuk orang-orang yang berbuat baik. Yaitu, pertama, jika engkau tidak bisa memberinya manfaat, maka janganlah engkau timpakan kemudharatan kepadanya; kedua, jika engkau tidak bisa membuatnya bahagia, maka janganlah engkau membuatnya sedih; ketiga, jika engkau tidak bisa memujinya, maka janganlah engkau mencelanya."

Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfirman (yang artinya): "Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku, 'Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya syetan menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia." [QS. Al-Isrâ': 53]

Al-`Allâmah Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa`di—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Ini termasuk karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya, karena Dia memerintahkan mereka supaya memiliki akhlak, amal, dan perkataan terbaik yang mendatangkan kebahagiaan di dunia dan Akhirat. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): 'Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku, 'Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik.'

Ini adalah perintah untuk mengucapkan setiap perkataan yang mendekatkan hamba kepada Allah, berupa membaca Al-Quran, berdzikir, mengkaji ilmu, menyeru kepada kebaikan, mencegah dari kemungkaran, dan berbicara baik dan lembut dengan sesama manusia, terlepas dari perbedaan tingkat dan kedudukan mereka. Jika terdapat dua perkara yang sama-sama baik, maka seorang hamba diperintahkan untuk memilih yang terbaik dari keduanya, jika ia tidak bisa mengambil keduanya sekaligus.

Perkataan yang baik mendorong lahirnya setiap akhlak yang baik dan amal shalih. Sesungguhnya orang yang bisa mengendalikan lisannya niscaya mampu mengendalikan seluruh urusannya.

AllahSubhânahu wata`âlâberfirman (yang artinya): "Sesungguhnya syetan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka." Artinya, syetan senantiasa berusaha melakukan sesuatu yang merusak agama dan dunia seseorang. Solusinya adalah ia tidak mengikuti syetan itu dalam mengucapkan perkataan yang tidak baik yang diserukannya, dan bersikap lembut dengan sesama manusia untuk membungkam syetan yang menanamkan perselisihan antara mereka. Sesungguhnya syetan itu adalah musuh mereka yang sesungguhnya yang harus mereka perangi. Ia menyeru mereka, "Supaya mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala." [QS. Fâthir: 6]

Sedangkan saudara-saudara mereka, seandainya syetan berusaha menanamkan perselisihan dan permusuhan di tengah mereka, maka hendaklah berusaha dengan kuat untuk menghalau musuh mereka, dan menundunddukan nafsu mereka yang selalu menyuruh pada keburukan yang menjadi pintu masuk syetan. Sehingga dengan demikian, mereka menjadi taat kepada Rabb, dan urusan mereka menjadi bagus, dan mereka mendapat petunjuk menuju kebenaran." (Tafsîr As-Sa`di).

Orang yang paling berhak kita perlakukan dengan sikap ini adalah kedua orang tua kita, yang Allah—Tabâraka wata`âlâ—memerintahkan kita untuk berbakti dan berbuat baik kepada mereka. Di antara bentuk berbuat baik kepada mereka adalah memilih kata-kata yang baik ketika berbicara dengan mereka. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan Rabbmu menetapkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ayah ibumu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "Ah", dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." [QS. Al-Isrâ': 23]

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abû Hurairah—Semoga Allah meridhainya—diceritakan bahwa seseorang datang kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—seraya berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baikku?" Beliau bersabda, "Ibumu." Orang itu berkata lagi, "Kemudian siapa?" Beliau bersabda, "Ibumu." Dia berkata lagi, "Kemudian siapa?" Beliau bersabda, "Ibumu." Dia berkata lagi, "Kemudian siapa?" Beliau bersabda, "Lalu ayahmu." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dan diriwayatkan juga dari Aisyah—Semoga Allah meridhainya—bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Aku masuk ke dalam surga, lalu aku mendengarkan bacaan (Al-Quran). Lalu aku berkata, 'Ini siapa?' Mereka menjawab, 'Hâritsah bin An-Nu`mân." Lantas Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Begitulah orang yang berbakti. Begitulah orang yang berbakti." [HR. Al-Hâkim]

Kebanyakan generasi salaf jika berbicara dengan ibunya, suara mereka nyaris tidak terdengar karena keinginan mereka yang kuat untuk merendahkan suara demi menjaga adab kepada sang ibu. Kita sungguh heran melihat para pemuda dan pemudi pada zaman sekarang yang berinteraksi dengan kedua orang tua mereka secara kasar, meninggikan suara, menghardik, menyakiti, dan melukai perasaan mereka dengan cara berbicara mereka yang buruk. Bahkan orang yang melihat mereka, yang tidak mengetahui bahwa mereka adalah ayah dan ibunya, sampai mengira bahwa keduanya adalah pembantu yang bekerja pada anak-anak tersebut, karena saking keras dan angkuhnya kata-kata yang digunakan oleh si anak terhadap orang tua mereka itu. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan mereka semua.

Di antara perkara yang tidak diragukan lagi adalah bahwa lembut dalam berbicara merupakan sesuatu yang diperlukan dalam hubungan suami-istri. Sesungguhnya dasar sebuah rumah tangga adalah kasih sayang dan cinta. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." [QS. Ar-Rûm: 21]

Masing-masing pasangan suami-istri sangat perlu memilih kata-kata yang terbaik untuk berbicara dan memunculkan rasa cinta dan kasih sayang antar mereka. Coba perhatikan pembicaraan santun antara Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dengan Ummul Mu'minîn Aisyah—Semoga Allah meridhainya. Aisyah—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda kepadaku, 'Sungguh aku mengetahui saat engkau senang kepadaku dan saat engkau marah." Aisyah berkata, "Dari mana engkau mengetahuinya?" Beliau bersabda, "Adapun jika engkau senang kepadaku, engkau akan mengatakan, 'Tidak, demi Rabb Muhammad.' Sedangkan jika engkau marah, engkau akan mengatakan, 'Tidak, demi Rabb Ibrâhîm." Aisyah berkata, "Benar. Demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak menjauhi selain namamu." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]. Sungguh kasih sayang dan etika yang luar biasa.

`Ubaid bin `Umair berkata kepada Aisyah, "Beritahulah kami sesuatu yang paling menakjubkan yang engkau lihat dari Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam." `Ubaid berkata, "Aisyah diam, lalu berkata, 'Pada suatu malam, beliau bersabda, 'Wahai Aisyah, biarkan aku beribadah kepada Rabbku pada malam ini.' Aku katakan kepada beliau, 'Demi Allah, aku ingin di dekatmu, dan aku menyukai sesuatu yang membuat engkau bahagia.' Aisyah berkata, 'Kemudian beliau berdiri dan bersuci, lalu shalat. Beliau lalu menangis, dan terus menangis sampai pipi beliau basah.' Aisyah berkata, 'Beliau terus menangis sampai janggut beliau basah. Beliau terus menangis sampai lantai basah. Kemudian Bilal datang menyeru shalat. Ketika Bilal melihat beliau menangis, ia berkata, 'Wahai Rasulullah, kenapa Anda menangis, padahal Allah sudah mengampuni dosa Anda yang telah lampau dan yang akan datang?' Beliau bersabda, 'Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur? Pada malam ini telah turun padaku sebuah ayat yang celakalan bagi orang yang membacanya namun tidak mentadabburinya, yaitu ayat (yang artinya): 'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." [QS. Âli `Imrân: 190]. [HR. Ibnu Hibbân. Menurut Al-Albâni: shahîh]

Saudaraku yang mulia, biasakanlah lisan Anda untuk mengucapkan kata-kata yang baik. Ketahuilah bahwa Allah—Tabâraka wata`âlâ—tidak membolehkan hamba-Nya mengucapkan dengan terus terang ucapan buruk, kecuali dalam kondisi terzalimi. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfirman (yang artinya): 'Allah tidak menyukai ucapan buruk, dengan terus terang kecuali orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui." [QS. An-Nisâ': 148]

Secara umum, seorang muslim hendaklah membaguskan interaksinya dengan semua orang, baik kerabatnya, ataupun orang yang hubungannya jauh denganya, dan membiasakan lisannya dengan perkataan yang bagus serta menghindari perkataan yang buruk.

Kita berdoa semoga Allah—Tabâraka wata`âlâ—selalu menolong kita dalam hal menaati dan mencari keridhaan-Nya, memberi kita taufik dalam setiap perkataan dan perbuatan, meluruskan lisan kita, dan menjauhkan kita dari ketergelinciran dalam perkataan dan perbuatan dengan karunia dan anugerah-Nya.

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan para shahabat beliau.

www.islamweb.net