Syarat-syarat dan Ketentuan Tobat

| IslamWeb

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, beserta keluarga dan semua shahabat beliau.

Sesungguhnya karunia Allah kepada kita sangatlah besar, rahmat-Nya terhadap kita sangatlah luas. Allah telah memudahkan bagi kita cara bertobat, bukan sebagaimana dahulu diberatkan bagi Bani Isrâ'îl, sebagaimana firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: 'Hai kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri kalian sendiri karena kalian telah menjadikan anak lembu (sembahan kalian), maka bertobatlah kepada Tuhan yang menciptakan kalian dan bunuhlah diri kalian. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian di sisi Tuhan yang menciptakan kalian; maka Allah akan menerima tobat kalian. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Baqarah: 54]

Adapun untuk umat Muhammad yang dirahmati ini, Allah telah memudahkan cara bertobat bagi mereka. Allah menjadikan pintu tobat selalu terbuka di hadapan siapa saja di antara mereka yang ingin memasukinya. Bahkan di antara bentuk karunia dan kemurahan-Nya, Allah mewajibkan bagi para makhluk-Nya untuk segera bertobat. Allah juga menganjurkan para hamba-Nya untuk bertobat, bahkan mencintai para pelakunya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Az-Zumar: 53]. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—juga berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." [QS. Al-Baqarah: 222]

Tobat yang paling besar dan paling wajib hukumnya adalah tobat dari kekafiran menuju keimanan, dari kesyirikan menuju Tauhid. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: 'Jika mereka berhenti (dari kekafiran mereka), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu." [QS. Al-Anfâl: 38]. Dalam ayat lain, setelah menyebutkan beberapa ungkapan buruk orang-orang Nasrani tentang diri-Nya, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Mâ'idah: 74]

Kemudian yang menempati urutan berikutnya adalah tobat dari perbuatan bid'ah dan dosa-dosa besar. Kemudian menyusul tobat dari dosa-dosa kecil.

Setiap orang wajib bertobat dari semua dosa, baik besar maupun kecil, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Banyak nas-nas dari Al-Quran dan Sunnah serta Ijmâ` (kesepakatan) ulama yang menunjukkan kewajiban itu. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung." [QS. An-Nûr: 31]. Perhatikanlah bagaimana Allah menggantungkan kemenangan dan keberuntungan kepada tobat, dan bukan hanya tobat perorangan, tetapi tobat secara kolektif, yaitu bertobatnya seluruh manusia. Oleh karena itu, ayat di atas menggunakan kata ganti plural.

Bahkan Allah—Subhânahu wata`âlâ—mewajibkan kepada kita melakukan tobat secara jujur, ikhlas, dan murni. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat nasûhaa (tobat yang semurni-murninya)." [QS. At-Tahrîm: 8]

Sebuah hadits diriwayatkan dari Al-Agarr ibnu Yasâr Al-Muzani—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Wahai sekalian manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan mohon ampunlah kepada-Nya, karena aku bertobat sebanyak seratus kali dalam sehari." [HR. Muslim]. Jika Nabi yang ma'sûm saja seperti demikian, bertobat dan beristigfar kepada Allah lebih dari seratus kali dalam satu hari, maka kita tentu lebih layak untuk bertobat dan beristigfar kepada Allah. Karena kita selalu berbuat dosa di setiap saat dan setiap waktu, berbeda dengan beliau yang dijaga oleh Allah agar tidak terjatuh ke dalam dosa dan kesalahan.

Bahkan di antara bukti besarnya karunia dan kemurahan Allah kepada para hamba-Nya adalah bahwa Allah sangat gembira menyaksikan tobat dan kembalinya seorang hamba kepada-Nya. Padahal, Allah sebenarnya tidak membutuhkan tobat siapa pun. Kegembiraan itu tidak lain adalah karena kecintaan dan keinginan-Nya memberi maaf dan ampunan kepada para hamba.

Sebuah hadits diriwayatkan dari Anas ibnu Malik Al-Anshâri—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sungguh Allah lebih gembira dengan tobat hamba-Nya daripada seseorang dari kalian yang menemukan kembali untanya yang telah meninggalkannya di tengah padang pasir tidak berpenghuni." Dalam riwayat imam Muslim di sebutkan: "Sungguh Allah begitu gembira melihat seorang hamba-Nya yang bertobat kepada-Nya, melebihi kegembiraan seseorang dari kalian yang sedang bersama hewan tunggangannya di tengah padang pasir, lalu tiba-tiba hewan itu lari meninggalkannya, sementara makanan dan minumannya ada bersama hewan itu. Ia pun kehilangan harapan untuk dapat kembali menemukan hewan itu, sehingga ia mendatangi sebuah pohon dan berbaring di bawah naungannya dalam keadaan putus asa. Ketika ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba hewan tunggangannya telah berdiri di dekatnya. Ia pun segera memegang tali kekang hewan itu lalu berkata: 'Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan Aku adalah tuhan-Mu'. Ia salah berucap karena demikian gembiranya." [HR. Muslim]

Allah selalu membuka pintu tobat bagi siapa saja yang ingin bertobat kepada-Nya dan kembali kepada kebaikan, kapan pun waktunya, baik malam maupun siang, hingga matahari terbit dari barat. Hal itu diungkapkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy`ari—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya AllahSubhânahu wata`âlâmembentangkan tangan-Nya pada malam hari supaya bertobat orang-orang yang berbuat maksiat di siang hari. Dan Dia membentangkan tangan-Nya di siang hari supaya bertobat orang-orang yang bermaksiat di malam hari; hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya." [HR. Muslim]. Jika matahari telah terbit dari Barat, dijelaskan oleh Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—dalam firman-Nya (yang artinya): "Tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau Dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya." [QS. Al-An`âm: 158]. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurarirah—Semoga Allah meridhainya, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat niscaya Allah akan menerima tobatnya." [HR. Muslim]

Ini adalah waktu yang umum untuk diterimanya tobat seluruh manusia. Di samping waktu yang umum itu, ada juga waktu khusus untuk penerimaan tobat setiap individu, yaitu sebelum ia mengalami sakaratul maut, sebelum ruhnya sampai di tenggorokan, sebelum napas tersengal-sengal menjelang kematian. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah ibnu Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—disebutkan bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya Allah`Azza wajallaakan menerima tobat seorang hamba sebelum nafasnya sampai di tenggorokan." [HR. At-Tirmîdzi. Menurut Al-Albâni: shahîh]

Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga menerangkan hal ini dalam firman-Nya (yang artinya): "Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada salah seorang mereka (barulah) ia mengatakan: 'Sesungguhnya aku bertobat sekarang'. Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati sedang mereka berada dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." [QS. An-Nisâ': 18]

Tobat adalah hal yang wajib dilaksanakan segera, tidak boleh ditunda. Karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—dan Rasul-Nya telah memerintahkan seperti itu, sementara perintah Allah dan Rasul-Nya harus segera dilaksanakan. Seorang hamba tidak mengetahui apa yang akan terjadi jika ia menunda-nunda tobatnya. Bisa saja maut datang menjemputnya secara tiba-tiba, sehingga ia tidak sempat bertobat. Selain itu, kebiasaan melakukan maksiat (dosa) secara terus-menerus akan membuat hati keras membatu, jauh dari Allah—Subhânahu wata`âlâ, serta lemah keimanan, karena iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang akibat maksiat. Terus-menerus melakukan maksiat juga akan membuat maksiat terasa sebagai hal biasa dan sulit ditinggalkan. Karena nafsu manusia jika telah terbiasa dengan sesuatu pasti akan sulit meninggalkannya. Bila sudah demikian, seorang hamba akan sangat kesulitan meninggalkan maksiat yang ia lakukan, dan kemudian Syetan pun akan membukakan baginya pintu maksiat lain yang lebih besar dari sebelumnya. Oleh karena itu, para ulama dan tokoh-tokoh ilmu akhlak menyatakan bahwa maksiat adalah pos yang mengantarkan kepada kekafiran. Seorang manusia berpindah, di dalam maksiat yang ia lakukan, dari satu tahap ke tahap berikutnya, hingga kemudian benar-benar menyeleweng secara utuh dari Agamanya. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal semacam itu.

Tobat bukan sekedar perkataan yang diucapkan oleh lidah. Ia memiliki syarat dan rukun-rukun tertentu untuk dapat menjadi tobat yang benar dan diterima. Syarat-syarat tersebut telah digali oleh para ulama dari nas-nas Al-Quran dan Sunnah. Syarat-syarat tersebut kami simpulkan sebagai berikut:

Pertama: Ikhlas karena Allah. Artinya, tujuan bertobat adalah mencari keridhaan Allah dan berharap Allah akan berkenan menerimanya serta mengampuni segala maksiat yang telah ia lakukan. Bukan sebaliknya, tobat dilakukan untuk pamer dan menarik hati manusia, atau untuk menghindari hukuman pemerintah atau pemimpin.

Kedua: Menyesali perbuatan maksiat yang pernah dilakukan. Disebutkan dalam sebuah hadits: "Penyesalan adalah tobat." [HR. Ahmad dan Al-Hâkim. Menurut Al-Albâni: shahîh]. Ini karena perasaan menyesal seorang manusia merupakan indikasi yang menunjukkan bahwa ia jujur dengan tobatnya.

Ketiga: Ini adalah syarat tobat yang paling penting, yaitu melepaskan diri dari dosa yang pernah dilakukan. Jika dosa itu berupa meninggalkan hal yang wajib, maka cara melepaskan diri dari dosa itu adalah dengan mengerjakan kewajiban itu. Misalnya, bila seseorang melalaikan shalat berjemaah, kemudian ia ingin bertobat, maka ia harus menjaga shalat jemaahnya setelah itu. Jika ia lalai dalam berbakti kepada kedua orang tua, maka ia wajib segera berbakti dan berbuat baik kepada mereka. jika ia mengabaikan masalah silaturahim, maka ia harus segera menyambung silaturahimnya. Demikian seterusnya.

Jika maksiat itu berupa perbuatan haram maka ia wajib segera melepaskan diri dari dosa-dosa tersebut, dan tidak mempertahankannya walaupun sesaat. Bila misalnya ia terbiasa memakan harta riba maka ia wajib bersegera meninggalkan dan menjauhi riba itu, serta mengeluarkan semua harta bendanya yang ia dapat dari jalan riba. Bila dosanya itu misalnya berbentuk perbuatan menipu, berdusta kepada manusia, atau khianat terhadap amanah, Maka ia juga wajib segera meninggalkan semua itu. Jika ia pernah mendapatkan harta dengan cara-cara yang diharamkan ini, maka ia harus mengembalikan harta itu kepada pemiliknya atau meminta kerelaannya. Jika maksiat yang ia lakukan itu misalnya adalah ghîbah (bergunjing), maka ia wajib meninggalkan perbuatan ghîbah dan kebiasaan membicarakan aib orang lain. Adapun jika seseorang baru sekedar berkata bahwa ia bertobat sementara ia masih saja meninggalkan kewajiban atau terus-menerus melakukan perbuatan haram, maka tobat seperti ini tidaklah diterima. Bahkan tobat semacam ini dianggap mempermainkan Allah—Subhânahu wata`âlâ. Bagaimana mungkin Anda mengaku bertobat kepada Allah sementara Anda tetap saja bermaksiat kepada-Nya?!

Adapun jika dosa yang Anda lakukan misalnya adalah memukul orang lain atau sejenisnya maka datangilah orang itu dan berikan ia kesempatan untuk membalas pukulan Anda sebagaimana Anda telah memukulnya. Jika Anda memukul punggungnya, berikan ia kesempatan untuk memukul punggung Anda, jika Anda memukul kepalanya, persilahkan ia memukul kepala Anda pula, begitu seterusnya. Karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa." [QS. Asy-Syûrâ: 40]. Dalam ayat lain, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—juga berfirman (yang artinya): "Oleh sebab itu, barang siapa yang berbuat zalim, maka balaslah ia seimbang dengan kezalimannya terhadap kalian." [QS. Al-Baqarah: 194]

Jika maksiat yang dilakukan itu berupa perkataan yang menyakitkan, seperti menghina dan menjelek-jelekkan seseorang di depan orang lain, maka Anda harus pergi menemuinya dan meminta kerelaannya dengan kompensasi apa pun. Bahkan walaupun misalnya ia berkata, aku tidak akan memaafkanmu kecuali setelang engkau memberiku uang dalam jumlah sekian, Anda harus memenuhinya.

Keempat: Berazam (bertekad) untuk tidak kembali melakukan perbuatan maksiat di masa mendatang. Jika saat bertobat Anda masih berniat untuk kembali melakukannya saat ada kesempatan, berarti tobat Anda belum benar. Sebagai contoh, seseorang yang menggunakan hartanya untuk bermaksiat kepada Allah, membeli minuman-minuman memabukkan, pergi ke negeri tertentu dengan tujuan berzina dan mabuk-mabukkan—na`ûdzubillâh, lalu ia jatuh miskin, kemudian berkata, 'Ya Allah, aku bertobat kepada-Mu', tetapi di dalam hati ia berniat bahwa jika ia kembali kaya ia akan kembali melakukan maksiat itu, maka tobatnya tidak diterima. Karena tobat seperti ini adalah tobat orang yang lemah. Artinya, baik bertobat atau tidak, ia memang tidak bisa melakukan maksiat itu karena kondisinya yang memaksa. Sekali lagi, tobat seperti ini adalah tobat yang tidak diterima.

Kelima: Tobat dilakukan pada waktu diterimanya tobat. Jika seseorang bertobat di saat tobat tidak lagi diterima, maka tobatnya tidak bermanfaat bagi dirinya.

Berhati-hatilah dengan dosa, karena ia sangat merugikan, akibatnya sangat buruk, dan balasannya sangat pedih. Hati yang suka berdosa adalah hati yang sakit. Jauh dari dosa adalah keberuntungan besar. Keselamatan dari dosa tiada ternilai harganya. Melakukan dosa terutama setelah uban bertaburan di kepala adalah bahaya besar.

Allah menerima tobat seorang hamba, betapa pun besarnya dosa yang ia lakukan. Bahkan dosa syirik sekalipun, karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—Maha menerima tobat dan mengampuni kesalahan. Tidak hanya itu, Allah bahkan mengganti keburukan-keburukan tersebut dengan kebaikan.

Hal ini disampaikan dalam hadits yang menceritakan tentang seseorang yang membunuh seratus manusia. Diriwayatkan dari Abu Sa`îd Al-Khudri—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Dahulu, ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 orang. Lalu ia mencari seseorang yang paling alim di antara penduduk bumi ini. Kemudian ia ditunjukkan kepada seorang pendeta, dan ia pun mendatanginya. Ia bercerita bahwa dirinya telah membunuh 99 orang, apakah ada peluang tobat untuknya? Pendeta itu menjawab, 'Tidak'. Mendengar jawaban ini, laki-laki itu langsung membunuhnya, sehingga sempurnalah korbannya menjadi 100 orang. Kemudian ia kembali mencari orang yang paling alim di antara penduduk bumi. Ia pun ditunjukkan kepada seorang ulama, lalu ia datang menemuinya, menceritakan bahwa dirinya telah membunuh 100 orang, kemudian bertanya apakah ada peluang tobat baginya? Orang yang alim itu pun menjawab, 'Tentu. Siapa yang bisa menghalangi engkau untuk bertobat?! Pergilah ke negeri itu (sebuah negeri), karena di sana ada orang-orang yang menyembah AllahSubhânahu wata`âlâ. Sembahlah Allah bersama mereka. Jangan engkau kembali ke negerimu, karena negerimu itu adalah negeri yang penuh dengan kejahatan'. Laki-laki itu pun berangkat ke tempat yang dimaksud. Setelah melewati separuh perjalanan, maut menjemputnya. Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab pun berselisih tentang siapakah yang berhak membawa ruhnya. Malaikat Rahmat berkata, 'Sesungguhnya ia telah datang bertobat, menghadap dengan hatinya kepada AllahSubhânahu wata`âlâ'. Tetapi Malaikat Azab berkata, 'Dia belum pernah mengerjakan satu kebajikan pun'. Saat itulah, datang seorang Malaikat yang menjelma seperti manusia. Dua Malaikat itu pun menjadikannya sebagai hakim, dan ia kemudian memutuskan: 'Ukurlah jarak kedua tempat itu (tempat asal dan tempat tujuan si laki-laki). Mana yang paling dekat (ke tempat ia meninggal) maka tempat itulah yang memiliknya'. Kedua Malaikat itu pun mengukurnya, dan ternyata posisi orang itu lebih dekat ke tempat tujuannya. Maka, ruhnya pun dibawa oleh Malaikat Rahmat. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam redaksi lain yang juga shahîh disebutkan: "Allah memerintahkan tempat (asalnya) untuk menjauh, dan tempat (tujuannya) untuk mendekat, lalu berfirman (yang artinya): 'Ukurlah jarak kedua tempat itu!' Lalu kedua Malaikat itu pun menemukan bahwa orang itu lebih dekat ke tempat tujuannya dengan selisih hanya satu jengkal. Maka, Allah pun mengampuni dosa-dosanya." Dalam riwayat lain disebutkan: "Laki-laki itu pun memiringkan dadanya ke arah negeri yang ia tuju (sehingga menjadi lebih dekat ke sana)."

Dalam hal tobat, manusia terbagi menjadi beberapa kelompok. Di antara mereka ada yang tidak mendapatkan taufik untuk meraih taubat nasûha, tetapi justru dimudahkan melakukan maksiat sejak permulaan hingga akhir umurnya, hingga ia mati dalam keadaan tetap melakukan maksiat. Ini tentu adalah kondisi orang-orang yang sengsara. Lebih buruk dari itu adalah orang yang di awal umurnya diisi dengan amalan-amalan baik, namun akhir hidupnya diisi dengan amalan-amalan buruk, sehingga kehidupannya berakhir di dalam keburukan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: "Sesungguhnya salah seorang dari kalian benar-benar melakukan amalan-amalan penduduk Surga hingga ketika jarak antara dirinya dengan Surga tinggal satu hasta, kemudian ketetapan takdir mendahuluinya, dan ia pun mengamalkan amalan penduduk Neraka, sehingga ia memasukinya."

Ada juga segolongan orang yang menghabiskan umurnya dalam kelalaian, lalu ia tersadar untuk melakukan amalan-amalan shalih, sehingga ia pun meninggal dunia dalam keadaan baik. Inilah keadaan orang yang disebutkan dalam hadit: "Ia melakukan amalan-amalan penduduk Neraka, hingga ketika jarak antara dirinya dengan Neraka tinggal satu hasta, ketetapan takdir mendahuluinya, dan ia pun melakukan amalan-amalan ahli Surga, sehingga ia memasukinya."

Orang-orang seperti ini ada yang tersadar beberapa waktu sebelum kematiannya, sehingga akhirnya mampu menutup hidup dengan amal-amal kebaikan. Ada pula yang tersadar saat kematian benar-benar telah mendekatinya, saat itu, ia diberi taufik untuk melakukan taubat nasûha, dan kemudian meninggal dunia dalam keadaan seperti itu. 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Jika Allah menginginkan kebaikan bagi seorang hamba, Dia mengutus seorang Malaikat kepadanya satu tahun sebelum kematiannya. Malaikat itu membimbing dan memudahkannya melakukan kebaikan, sampai ia meninggal dalam keadaannya yang paling baik. Lalu orang-orang pun berkata: 'Si Fulan meninggal dalam keadaan yang sangat baik'."

Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Sa`îd Al-Khudri—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya Syetan berkata, 'Demi kemuliaan-Mu, wahai Tuhan, aku akan terus-menerus mempedaya anak cucu Adam selama ruh berada dalam jasad mereka'. Kemudian Allah`Azza wajallaberkata: 'Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku akan selalu mengampuni mereka selama mereka ber-istigfar (meminta ampun) kepada-Ku." [HR. Ahmad dan Al-Hâkim. Menurut Al-Albâni: hasan]

Ada lagi segolongan lain manusia terkait tobat ini, mereka adalah orang-orang yang paling mulia. Yaitu manusia-manusia yang menghabiskan umur mereka dalam ketaatan, lalu saat ajal mendekat, mereka diingatkan akan kematian itu, sehingga mereka makin bersungguh-sungguh mencari bekal terbaik untuk menjadi penutup amal saat bertemu dengan Allah. Ibnu Abbas berkata, "Ketika turun kepada NabiShallallâhu `alaihi wasallam—ayat (yang artinya: 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.' [QS. An-Nashr: 1], Rasulullah diingatkan kepada kematian beliau, lalu beliau semakin bersungguh-sungguh melaksanakan amalan untuk Akhirat. Ummu Salamah berkata, 'NabiShallallâhu `alaihi wasallampada masa-masa akhir kehidupan beliau, tidak pernah berdiri, duduk, atau pergi dan datang kembali, melainkan selalu mengucapkan: 'Subhânallâhi wabihamdihi (Maha suci Allah, dan aku mengucapkan pujian untuk-Nya)'. Lalu aku menanyakan penyebab hal itu kepada beliau, dan beliau pun menjawab, 'Aku diperintah demikian'. Kemudian beliau membaca surat ini."

Kebiasaan beliau adalah ber-iktikaf di mesjid setiap tahun pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan melakukan tadarrus Al-Quran bersama Jibril satu kali dalam setahun. Tetapi pada tahun beliau meninggal, beliau ber-iktikaf dua puluh hari terakhir (bulan Ramadhan) dan membaca Al-Quran di hadapan Jibril dua kali.

Seorang tokoh shalih suatu ketika menderita sakit, lalu ia diberikan resep obat. Tiba-tiba, pada waktu tidurnya, ia bermimpi. Di dalam mimpi itu dikatakan kepadanya: "Apakah engkau akan meminum obat sementara para bidadari telah bersiap menyambutmu?" Ia pun bangun dalam keadaan terkejut, kemudian melakukan shalat selama tiga hari hingga tulang punggungnya bengkok, lalu ia meninggal dunia pada hari ketiga.

Kita berdoa kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa kita, menutup aib-aib kita, dan memberi karunia tobat kepada kita. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi tobat dan Maha Penyayang.

Semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.

www.islamweb.net