Anak Buta Penunjuk Jalan

13/03/2019| IslamWeb

Umurku belum genap 30 tahun tatkala istriku melahirkan anak pertama kami, dan sampai saat ini aku masih mengingat peristiwa malam itu. Aku bergadang bersama teman-temanku hingga larut malam di sebuat tempat peristirahatan. Malam itu penuh dengan obrolan-obrolan kosong, bahkan penuh gunjing dan kalimat-kalimat yang haram. Dan akulah yang biasanya paling sering membuat mereka tertawa. Aku menggunjingkan orang lain, sementara mereka tertawa.

Aku masih ingat betapa malam itu aku begitu banyak membuat mereka tertawa. Aku memiliki kemampuan hebat dalam menirukan seseorang. Aku bisa mengubah dialek suaraku hingga sangat mirip dengan suara orang yang aku ejek. Ya, aku memang suka mengejek dan mencela banyak orang. Hampir tidak ada orang yang selamat dari ejekanku, termasuk sahabat-sahabatku. Sehingga sebagian orang menjauhiku agar selamat dari ejekanku.

Aku ingat bahwa malam itu aku asyik mengejek orang buta yang pernah aku lihat mengemis di pasar. Celakanya, aku meletakkan kakiku di depannya, sehingga ia tersandung dan jatuh. Saat itu ia menoleh ke kanan dan ke kiri tanpa tahu apa yang harus ia ucapkan. Serta merta tawaku meledak di pasar itu.

Kemudian aku kembali ke rumah agak larut seperti biasanya. Aku menemukan istriku sedang menunggu. Kondisinya saat itu sangat memprihatinkan. Ketika itu ia berkata dengan suara pelan, "Suamiku, engkau dari mana?" Lalu aku jawab dengan berolok-olok, "Dari planet Mars! Tentu bersama sahabat-sahabatku."

Raut kelelahan sangat jelas di wajahnya. Dengan suara agak tercekat, ia berkata kepadaku, "Suamiku, aku lelah sekali. Sepertinya waktu melahirkan sudah semakin dekat." Perlahan air mata menetes di pipinya. Saat itu aku merasa bahwa aku telah banyak melalaikan istriku.

Semestinya, saat-saat seperti ini aku lebih memperhatikannya dan mengurangi bergadang, terlebih pada usia kesembilan kehamilannya. Aku segera membawanya ke rumah sakit. Ia lalu masuk ke ruang bersalin dan selama berjam-jam menahan rasa sakit.

Aku menanti kelahiran anakku dengan penuh kesabaran. Proses bersalin istriku agak sulit, aku pun harus menunggu cukup lama, sehingga aku kelelahan. Lalu aku kembali ke rumah dan meninggalkan nomor teleponku kepada petugas rumah sakit, agar mereka dapat mengabariku tentang proses persalinan.

Selang satu jam, pihak rumah sakit menghubungiku tentang kelahiran putraku, Salim. Aku pun segera bertolak ke rumah sakit. Pertama kali ketika melihat kedatanganku dan menanyakan tentang kamar istriku, petugas rumah sakit memintaku untuk menemui bidan yang menangani proses persalinan istriku. Dengan rasa heran aku bertanya, "Mengapa harus menemui bidan? Yang penting bagiku saat ini adalah dapat segera melihat putraku, Salim!" Namun mereka berkata, "Sebaiknya, Bapak menemui bidan terlebih dahulu!"

Aku pun menemui bidan tersebut. Ia lalu berbicara denganku tentang musibah serta kesabaran dalam menerima ketentuan Allah. Lalu ia berkata kepadaku, "Putra Anda mengalami cacat serius pada kedua matanya. Dan sepertinya ia akan mengalami kebutaan."

Mendengar itu, aku menundukkan kepala berusaha menahan kesedihan. Seketika itu, aku tiba-tiba mengingat pengemis buta yang aku buat terjatuh dan aku tertawakan di pasar itu.

Subhânallâhu, sebagaimana kita berbuat, seperti itu pula kita akan menerima balasannya. Seketika aku tercenung, tidak tahu apa yang harus aku katakan. Kemudian aku teringat istri dan anakku. Aku pun berterima kasih kepada bidan tersebut atas penjelasannya. Lalu aku beranjak untuk melihat istriku.

Istriku tidak merasa sedih sama sekali. Ia begitu yakin dengan ketentuan Allah. Ia terlihat begitu ridha dan tetap menasihatiku agar tidak lagi mencela orang lain. kalimat yang selalu ia ulang adalah: "Jangan menggibah (menggunjing) orang lain." Selanjutnya, kami pun keluar dari rumah sakit. Dan bayi kami, Salim juga ikut bersama kami.

Sejujurnya, aku tidak begitu perhatian kepada Salim. Aku seakan menganggapnya tidak ada di tengah-tengah kami. Ketika tangisnya meledak, aku biasa kabur ke ruang tengah untuk tidur di sana. Lain halnya dengan istriku yang sangat memperhatikan Salim. Istriku sangat mencintainya. Sebenarnya aku tidak membenci Salim, tetapi aku belum mampu mencintainya.

Perlahan-lahan, Salim tumbuh besar, ia mulai merangkak, dan rangkakannya sangat aneh. Ketika umurnya hampir setahun, ia perlahan-lahan mulai berjalan. Ketika itulah kami mengetahui bahwa ia lumpuh. Hal itu semakin membuat aku semakin terpukul.

Setelah kelahiran Salim, istriku kemudian melahirkan Umar dan Khalid. Tahun pun berganti, Salim semakin tumbuh besar, begitu pula adik-adiknya. Aku tidak begitu suka berada di rumah. Aku banyak duduk bersama sahabat-sahabatku. Sebenarnya, aku tidak ubah seperti mainan di tangan mereka. Istriku tidak lelah menasihati aku. Ia selalu berusaha mengarahkanku, dan tidak pernah marah dengan perilakuku yang sembrono. Namun ia akan sangat sedih apabila melihat aku tidak peduli kepada Salim, sedangkan kepada adik-adiknya begitu perhatian.

Salim semakin beranjak besar. Ia tumbuh besar seiring dengan kesedihanku melihatnya. Ketika istriku berkeinginan memasukkannya ke sebuah sekolah penyandang cacat, aku tidak melarangnya sama sekali. Tahun pun berganti dan nyaris aku tidak merasakannya. Seluruh hari-hariku adalah sama; bekerja, tidur, makan, dan bergadang.

Suatu ketika, pada hari Jumat, aku bangun pada jam 11 siang. Waktu seperti itu bagiku masih terlalu pagi. Hari itu, aku mendapat undangan untuk menghadiri sebuah pesta pernikahan. Setelah berpakaian dan memakai wewangian, aku pun berniat keluar rumah. Aku melewati ruang tengah, saat itu aku terhenti melihat Salim yang sedang terisak menangis. Sejak ia kecil, itu adalah kali pertama aku memperhatikan Salim ketika menangis. Sepuluh tahun berlalu, aku tidak pernah memperhatikannya. Ketika itu pun, aku berusaha untuk tidak mempedulikannya, tetapi kali ini aku tidak mampu. Aku mendengar ia memanggil-manggil ibunya, sementara aku masih di ruang tersebut.

Aku lalu mendekatinya, lalu bertanya, "Salim, mengapa engkau menangis?" Ketika mendengar suaraku, seketika ia terdiam. Ketika merasa aku mendekatinya, ia mulai meraba-raba sekelilingnya dengan dua tangannya yang mungil. Apa gerangan yang ingin ia lakukan?

Akhirnya aku menyadari bahwa ia berusaha menjauhiku. seolah-olah ia berkata, "Sekarang engkau peduli kepadaku, kemana engkau sejak sepuluh tahun lalu?!"

Sejurus aku mendekatinya, dan ia pun masuk ke kamarnya. Awalnya, ia menolak menjawab pertanyaanku tentang sebab ia menangis. Kemudian aku berusaha berlemah-lembut kepadanya, dan ia pun perlahan mencoba menjawab pertanyaanku itu. Aku mendengarkan keterangannya dan akupun tersentak. Tahukan Anda apa alasannya?

Ternyata, saudaranya, Umar yang biasa mengantarkannya ke mesjid, hari ini terlambat. Ia takut tidak mendapatkan tempat di shaf pertama, karena hari ini adalah saat shalat Jumat. Lalu ia memanggil Umar dan memanggil ibunya, namun tidak ada yang menyahut, sehingga akhirnya ia pun menangis. Aku melihat air matanya berlinang di kedua matanya yang buta. Aku tidak mampu meneruskan perkataan. Kemudian aku meletakkan tanganku ke bibirnya sembari berkata, "Oh, itu yang menyebabkan engkau menangis!?" Ia menjawab, "Ya."

Saat itu, aku pun melupakan sahabat-sahabatku. Aku juga lupa kepada undangan pesta pernikahan. Lalu aku katakan kepadanya, "Salim, jangan bersedih, tahukan engkau siapa yang akan mengantarkanmu ke mesjid hari ini?"

Ia menjawab, "Iya, Umar tentunya. Tetapi ia selalu terlambat."

Lalu aku katakan kepadanya, "Tidak. Akulah yang akan pergi bersamamu ke mesjid hari ini."

Salim terheran-heran, ia nyaris tidak percaya. Ia mengira aku bermaksud mengejeknya. Ia pun bersedih dan kembali menangis. Aku sapu air matanya dengan tanganku, lalu aku pegang tangannya. Aku berniat membawanya ke mobil. Tetapi ia menolak seraya berkata, "Mesjid cukup dekat, aku ingin berjalan kaki saja ke sana." Demi Allah, ia berkata seperti itu kepadaku.

Aku tidak tahu persis, kapan terakhir aku datang ke mesjid. Tetapi ini adalah pertama kalinya aku merasa takut dan menyesal atas kelalaianku pada masa lalu.

Ketika itu, mesjid sudah dipenuhi jemaah shalat. Tetapi aku masih sempat mendapatkan tempat untuk Salim di shaf pertama. Lalu kami mendengarkan khutbah Jumat bersama, dan ia shalat di sampingku. Meskipun pada hakikatnya akulah yang shalat di sampingnya.

Selepas shalat, Salim meminta diambilkan mushaf. Aku sangat terkejut. Bagaimana mungkin ia akan membaca sementara ia tak dapat melihat? Hampir saja aku tidak mempedulikan permintaannya, tetapi aku berusaha memenuhinya agar tidak melukai perasaannya. Aku pun meraih sebuah mushaf.

Salim meminta aku membuka mushaf pada surat Al-Kahf. Beberapa kali aku membolak-balik halaman mushaf dan melihat daftar suratnya hingga aku pun menemukannya.

Lalu ia mengambil mushaf tersebut dan meletakkannya di hadapannya. Kemudian ia mulai membaca surat tersebut dengan kedua matanya yang tertutup. Ya Allah, ternyata ia telah menghafal surah Al-Kahf secara keseluruhan. Seketika aku merasa malu terhadap diriku sendiri. Lalu aku pun meraih sebuah mushaf.

Ketika itu, aku merasakan getaran hebat di sekujur tubuhku. Aku membaca dan membaca. Lalu aku berdoa kepada Allah agar Dia berkenan mengampuni kesalahan-kesalahanku dan memberikanku petunjuk. Aku tidak mampu menahan perasaan. Aku menangis seperti anak kecil.

Beberapa orang masih berada di mesjid menunaikan shalat sunnah. Aku merasa malu kepada mereka, sehingga aku pun berusaha menyembunyikan tangisanku, sehingga berubah menjadi isakan.

Beberapa saat aku tidak merasakan apapun selain tangan mungil yang menyentuh wajahku, dan menyapu air mata yang mengalir di wajahku. Ia adalah Salim. Aku pun mendekapnya. Sejurus aku melihat wajahnya, seraya berkata di dalam hati, "Bukan engkau yang buta, Salim. Aku lah yang buta ketika aku mengikuti orang-orang fasik yang senantiasa menggiringku ke Neraka."

Kamipun kembali ke rumah. Istriku sangat cemas dan mengkhawatirkan Salim. Tetapi kekhawatirannya itu seketika berubah menjadi air mata ketika ia tahu aku shalat Jumat bersama Salim.

Semenjak saat itu, aku tidak pernah melewatkan shalat berjemaah di mesjid. Aku tinggalkan sahabat-sahabat burukku. Aku mulai mendapatkan sahabat-sahabat yang shalih yang aku kenal di mesjid. Aku pun merasakan kemanisan iman bersama mereka. Dari merekalah aku mengenal hal-hal yang dapat mengalihkan perhatianku dari godaan dunia. Aku tidak pernah melewatkan halaqah zikir dan shalat Witir. Aku juga mengkhatamkan bacaan Al-Quran beberapa kali dalam sebulan. Bibirku senantiasa basah dengan zikir. Aku berharap Allah berkenan mengampuni dosa ghibah dan ejekanku terhadap orang lain di masa lalu. Aku juga merasa semakin dekat dengan keluargaku. Hilang sudah ekspresi ketakutan dan keprihatinan yang dahulu tampak dari mata istriku. senyuman hampir selalu menghiasi wajah anakku, Salim. Siapa saja yang melihatnya, akan mengira dialah penguasa dunia dan seluruh isinya. Aku tidak henti-hentinya mengucapkan syukur kepada Allah atas segala limpahan nikmat-Nya.

Suatu hari, beberapa sahabatku yang shalih memutuskan untuk berangkat ke sebuah kawasan yang cukup jauh untuk berdakwah. Aku agak bimbang untuk ikut serta. Lalu aku pun mendirikan shalat istikharah dan meminta pendapat istriku. Semula aku mengira ia akan menolak rencana kepergianku, tetapi ternyata justru sebaliknya. Ia sangat gembira dan ikut menyokong rencana tersebut, karena sebelumnya ia selalu melihatku bepergian dengan teman-teman yang tidak baik tanpa meminta pendapatnya sama sekali.

Lalu aku menemui Salim, dan memberitahukan kepadanya bahwa aku akan berangkat. Ia pun memelukku dengan kedua tangannya yang mungil untuk melepaskan kepergianku.

Aku meninggalkan rumah selama 3 bulan setengah. Dalam tempo tersebut, setiap ada kesempatan, aku selalu menghubungi istri dan anak-anakku. Aku sangat merindukan mereka. Terlebih lagi kepada Salim. Aku ingin sekali mendengar suaranya. Dialah satu-satu yang belum berbicara denganku semenjak keberangkatanku tempo hari. Setiap kali aku menelepon, ia terkadang sedang berada di sekolah, atau di mesjid.

Setiap kali aku mengungkapkan kerinduanku kepada Salim, istriku tertawa gembira. Kecuali saat terakhir pembicaraan kami melalui telepon. Aku tidak mendengar tawanya yang aku kira akan keluar seperti biasa. Suaranya berubah. Aku pun mengatakan kepadanya, "Sampaikan salamku kepada Salim." Istriku menjawab, "Insyâ Allah",  dan ia pun diam.

Hingga akhirnya aku kembali ke rumah. Aku ketuk pintu. Aku berharap Salim-lah yang membukakan pintu. Tetapi aku justru kaget dengan kedatangan anakku, Khalid, yang usianya waktu itu sekitar empat tahun. Aku lalu menggendongnya dengan kedua tanganku, dan ia pun berteriak, "Ayah, ayah."

Aku tidak tahu mengapa dadaku berdebar ketika masuk ke dalam rumah. Aku pun membawa ta'awwudz berlindung kepada Allah dari godaan Syetan yang terkutuk. Aku temui istriku, saat itu raut wajahnya berubah. Seolah-olah ia sedang berpura-pura menunjukkan suka-cita.

Aku dapat merasakan itu. Lalu aku pun bertanya kepadanya, "Ada apa denganmu?" Ia menjawab, "Tidak apa-apa."

Tiba-tiba aku mengingat Salim. Lalu aku pun berkata, "Salim di mana?" Istriku menundukkan wajahnya dan tidak menjawab pertanyaanku. Air matanya berlinang membasahi pipinya. Aku kembali bertanya kepadanya, "Salim di mana?"

Saat itu aku tidak mendengar apa pun selain suara anakku, Khalid, yang berkata dengan cadel, "Ayah, salim sudah pergi ke Surga, di sisi Allah."

Istriku tidak kuat menahan perasaannya. ia mulai menangis, dan hampir terjatuh. Lalu aku pun keluar dari kamar. Setelah itu, aku baru tahu bahwa Salim terserang demam, dua pekan sebelum kepulanganku. Istriku membawanya ke rumah sakit. Namun demamnya semakin tinggi, dan tidak lagi sembuh sampai nyawanya berpisah dengan badannya.

[Dikutip dari buku "Fî Bathnil Hûth", karya Syaikh Muhammad Al-'Arîfy]

 

 

www.islamweb.net